17 September 2008

Pilpres dan Nasib Nelayan

Sebentar lagi kita kembali melaksanakan pesta demokrasi dengan agenda utama pemilihan Presiden. Masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan menjadi target untuk mendulang suara. Ironisnya, pembangunan perikanan dan kelautan belum menjadi platform utama. Padahal, Indonesia memiliki sekitar 17.506 pulau dengan luas laut 5,8 juta km2. Lebih dari itu, Indonesia juga memiliki potensi lestari sumberdaya perikanan sebesar 6,2 juta ton per tahun. Cukup kaya dan melimpah. Kenyataannya, kehidupan nelayan masih terbelenggu kemiskinan, bahkan cenderung terpinggirkan. Akankan nelayan menjadi tuan rumah di lautnya sendiri pada pemimpin baru nanti?

Komunitas masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris yang petani. Karakterisitik masyarakat nelayan terbentuk mengikuti sifat dinamis sumberdaya yang digarapnya, sehingga untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal maka nelayan harus berpindah-pindah. Selain itu, resiko usaha yang tinggi menyebabkan masyarakat nelayan cenderung memiliki karakter khas, yakni keras, tegas dan terbuka.
Posisi tingkat sosial masyarakat inilah yang cenderung menempatkan nelayan berada dalam lingkaran garis kemiskinan, baik secara struktural maupun kultural yang mengantarkannya menjadi komunitas masyarakat terpinggirkan dalam proses pembangunan masa lalu. Secara politis, keberadaan rumah tangga nelayan sekitar 30 juta memiliki pengaruh yang signifikan dalam setiap pelaksanaan Pemilu maupun Pilpres yang saat ini dilakukan secara langsung. Nyatanya, keberadaan mereka cenderung hanya dijadikan obyek kepentingan sesaat. Kondisi itu jelas terlihat saat pelaksanaan Pemilu lalu yang digunakan kepentingan kemenangan Parpol tertentu.
Sebagai suatu kegiatan usaha yang memiliki resiko dan ketidakpastian, telah menciptakan hubungan khas patron-klien pada komunitas nelayan. Hubungan yang didasarkan pada emotional friendship dan instrumental friendship ini telah mengakar hingga beberapa generasi nelayan diberbagai wilayah pesisir. Akibatnya, nelayan cenderung dihadapkan pada sejumlah masalah yang tidak pernah tuntas, seperti pelunasan kredit yang tidak pernah berakhir dan harga ikan yang lebih rendah dari harga pasar. Pada akhirnya, proses “pengawetan “ kemiskinan pada masyakat nelayan terus berlanjut.
Melihat problematika di atas, sebenarnya cukup banyak kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah tersebut. Hanya saja, hingga kini masalah kemiskinan nelayan belum juga terselesaikan. Terakhir, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengeluarkan beberapa kebijakan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Kenyataannya belum memberikan hasil yang optimal. Penyebabnya, keseriusan pemimpin nasional dan instansi terkait untuk mendukung kebijakan dimaksud relatif masih rendah.


Primadona dan Kemiskinan
Pada periode 1945 – 1980, kegiatan usaha perikanan mengalami tahap booming. Periode ini ditandai dengan meningkatnya permintaan terhadap ikan seiring membaiknya kondisi perekonomian; terjadinya revolusi usaha penangkapan ikan berlangsung seiring dengan berkembangnya serat sintetis, penggunaan alat elektronik (fish finder, sonar) dan berbagai alat mekanik penangkapan (powerblock, winch); meningkatnya teknik pengolahan (segar, beku dan pengalengan); dan berkembangnya teknis pengemasan serta teknik transportasi. Revolusi alat tangkap tersebut telah mendorong penggunaan alat tangkap trawl dan purse seine yang berakibat pada meningkatnya aktivitas penangkapan secara cepat. Kondisi tersebut bukan tanpa akibat, penurunan catch per unit effort (CPUE) serta terjadinya konflik nelayan trawl dengan nelayan tradisional mulai nampak. Kondisi itulah yang mendorong pemerintah mengeluarkan larangan penggunaan alat tangkap trawl melalui Keppres. No. 39 tahun 1980.
Revolusi alat tangkap telah mendorong kegiatan usaha penangkapan ikan sebagai “primadona” saat itu. Meningkatnya kontribusi produksi perikanan tangkap terhadap devisa, PDB nasional, konsumsi ikan nasional, lapangan kerja, investasi dan regulasi hampir mewarnai setiap kegiatan perikanan. Bahkan selama periode 1994 – 2004, PDB perikanan, produksi, tenaga kerja, struktur sarana dan prasana serta pendapatan negara bukan pajak masih didominasi sub sektor perikanan tangkap. Sehingga pada tahun 2000, keberadaan sub sektor perikanan tangkap mulai mendapat perhatian serius dari stakeholders perikanan. Hal itu ditandai dengan upaya pengendalian perikanan tangkap seiring menurunnya jumlah hasil tangkapan akibat over fishing pada beberapa wilayah penangkapan.
Sebenarnya menurut Satria (2002), keberadaan nelayan digolongkan menjadi 4 tingkatan dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar dan karaktristik pasar. Keempat kelompok tersebut, antara lain nelayan tradisional (peasant-fisher) yang beroreintasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri; post peasant-fisher atau nelayan yang menggunakan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju, seperti motor tempel atau kapal motor; commercial fisher atau nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan; dan industrial fisher yang memiliki beberapa ciri, seperti terorganisasi, pada modal, pendapatan lebih tinggi dan berorientasi ekspor. Hingga tahun 2003, jumlah nelayan mencapai 3.476.200 jiwa - 802.440 jiwa diantaranya merupakan nelayan perairan umum -. Pada umumnya kondisi mereka berada pada garis kemiskinan dengan 95 persen diantaranya didominasi nelayan dengan sarana perahu tanpa motor di bawah 10 gross tonage (GT).
Dari sisi lain, terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan lebih disebabkan karena faktor struktural dan kultural. Faktor kultural dicirikan dengan keterbatasan modal dan teknologi, budaya malas, gaya hidup foya-foya, manajemen buruk, dan terbatasnya sumberdaya alam. Sedangkan secara struktural, kemiskinan lebih disebabkan pengaruh eksternal, seperti tergusur dalam proses pembangunan sebagaimana yang dialami masyarakat nelayan Kali Adem, keterbatasan akses terhadap modal, implementasi kebijakan pemerintah yang bersifat top down dan kebijakan yang tidak berorientasi pada prinsip pemberdayaan dan partisipasi nelayan setempat, rendahnya posisi tawar dalam proses pemasaran, keterbatasn sarana dan prasana pendukung, dan rendahnya penanganan hasil tangkapan. Artinya, tidak berarti nelayan tidak mau maju, tetapi nelayan tidak memiliki kesempatan untuk maju. Begitu pula sebalinya, tidak berarti pemerintah tidak memiliki perhatian dalam membangun kesejahteraan nelayan, tetapi hambatan budaya sangatlah mengikat nelayan untuk meningkatkan dirinya untuk maju. Kedua faktor tersebutlah yang selama ini mendorong terciptanya proses “pengawetan” kemiskinan pada masyarakat nelayan, dan keberadaan masyarakat nelayan selalu terabaikan dalam proses pembangunan nasional, meskipun keberadaan sub sektor ini telah menjadi “primadona” dalam pembangunan perikanan nasional.

Alternatif Solusi
Beberapa langkah penting yang perlu dilakukan dalam pembangunan masyakat nelayan, diantaranya melalui beberapa kebijakan distribusi jumlah nelayan secara merata dari daerah over fishing ke daerah under fishing, perubahan kultur tradisional ke industri, penguatan sarana dan prasarana nelayan, pemberdayaan potensi nelayan serta peningkatan keterampilan. Langkah-langkah itu perlu dilakukan guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya nelayan. Untuk mewujudkan itu perlu dukungan pemimpin nasional dalam bentuk platform pembangunan nasional kelautan dan perikanan serta dukungan dari semua sektor terkait. Sejatinya, pembangunan masyarakat nelayan haruslah mengintergrasikan kedua faktor penyebab kemiskinan tersebut.
Sebagai institusi yang menaungi masalah kelautan dan perikanan, termasuk nelayan, maka Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah memainkan peran aktif dalam mewujudkan masyarakat nelayan yang makmur, sejahtera dan berkeadilan. Lahirnya beberapa kebijakan DKP, seperti pembangunan Solar Packed Dealer Nelayan/Stasiun Pompa Bahan Bakar Nelayan (SPDN/SPBN), Program Pembedayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Optimalisasi Penangkapan Ikan (OPTIKAN), penataan sistem perizinan dan beberapa program lainnya, diyakini mampu meningkatkan kesejahteraan lebih baik bagi masyarakat nelayan. Oleh karenanya, pelaksanaan program tersebut menjadi bentuk tanggungjawab DKP sekaligus terobosan bagi sebuah institusi yang terbilang baru dengan “segudang” masalah.
Haruslah diakui, peningkatan kapasitas kelembagaan kelautan dan perikanan telah memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat, utamanya beberapa daerah nelayan yang tersentuh program DKP. Sebagai contoh, penguatan lembaga koperasi perikanan dibasis nelayan, diyakini dapat menjadi pusat kegiatan peningkatan kesejahterahan keluarga nelayan. Namun, bila dikaji kembali, sebenarnya “roh” dari beberapa kebijakan tersebut belumlah tuntas dilaksanakan. Akibatnya, belum semua tujuan dari beberapa kebijakan itu terwujud. Kondisi ini terjadi, tidak lain akibat belum adanya kesadaran dan partisipasi aktif semua sektor dan pihak-pihak terkait lainnya untuk bersama-sama melaksanakan kebijakan pembangunan perikanan yang telah dinakohdai DKP.
Harusnya berbagai ragam masalah yang muncul seperti uraian di atas, sepatutnya diupayakan untuk dituntaskan melalui beberapa langkah kebijakan yang terintegrasi dan berkesinambungan serta didukung seluruh sektor dan pihak-pihak yang terkait. Pertama, Kebijakan relokasi nelayan harus ditindaklanjuti dengan upaya pengurangan jumlah nelayan melalui program diversifikasi usaha perikanan. Bila tidak, kehadiran program relokasi hanya sebatas pemindahkan kemiskinan tanpa memberikan solusi bagi pelaku yang kehilangan pekerjaannya. Pengurangan nelayan itu didasarkan pada logika bahwa saat ini potensi lestari perikanan di laut sekitar 6,2 juta ton/tahun dan jumlah nelayan sebanyak 2.673.760 jiwa, maka setiap nelayan hanya mampu menangkap ikan 2,32 ton/tahun. Dan, bila diasumsikan harga ikan Rp 5000/kg, maka pendapatan kotor nelayan Rp 11, 6 juta/tahun. Pendapatan tersebut belum dikurangi bagian pemilik kapal, kebutuhan operasional melaut dan perbaikan sarana lainnya. Kedua, Kecepatan dan akurasi data statistik perikanan. Minimnya publikasi data statistik perikanan, diantaranya telah menyebabkan lambannya proses pengambilan kebijakan strategis. Sementara hingga saat ini belum ada standar baku metode perhitungan data yang digunakan, khususnya pada sumberdaya yang bersifat multi spesies. Kondisi ini telah mempengaruhi data yang dihasilkan serta berpengaruh terhadap kebijakan yang dilaksanakan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan. Ketiga, Revitalisasi kelembagaan nelayan. Eksistensi lembaga seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) sebagai organisasi tunggal nelayan haruslah dikaji kembali. Apalagi saat ini muncul berbagai lembaga yang mengatasnamakan nelayan. Namun sayangnya, keberadaan nelayan dalam lembaga-lembaga itu hanya sebagai obyek. Untuk itu, perlu didorong suatu perubahan dimana nelayan mampu menjadi penentu dalam lembaga tersebut, sehingga arah kebijakan yang diambil merupakan wujud peran aktif nelayan dalam proses pembangunan. Keempat, Revitalisasi sarana dan prasarana, mutu hasil tangkapan dan penyederhanaan jalur tata niaga perikanan. Ketersediannya sarana dan prasarana yang memadai, diyakini mampu meningkatkan aktivitas penangkapan ikan terutama di wilayah perairan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sedangkan pembinaan mutu hasil tangkapan dan penyederhanaan jalur tata niaga hasil perikanan, diyakini mampu mendorong peningkatan pendapatan produsen (nelayan). Kelima, Perubahan perilaku masyarakat nelayan. Perubahan perilaku nelayan dilakukan melalui pembinaan secara komprehensif dengan melibatkan peran tokoh masyarakat setempat. Perubahan perilaku ini diharapkan dapat mengubah pola-pola tradisional yang cenderung konsumtif menjadi terencana dan teratur. Keenam, Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Penguasaan iptek perlu ditanamkan ke dalam budaya nelayan yang bersifat tradisional dan temurun. Langkah ini tentunya harus dilakukan sesuai dengan kapasitas pendidikan dan pengalaman nelayan setempat. Metode dan cara penyampaian teknologi harus diimbangi dengan introduksi teknologi yang sedang berkembang serta mendukung kegiatan penangkapan ikan. Ketujuh, Penguatan kelembagaan pendukung. Lembaga-lembaga yang berperan dalam peningkatan taraf ekonomi nelayan perlu ditingkatkan kapasitasnya, sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan nelayan, terutama dalam hal menopang kegiatan penangkapan ikan dan pengolahan hasil perikanan.
Berpijak pada beberapa langkah diatas, sepantasnya kita menaruh harapan besar pada kedua capres yang akan maju pada putaran kedua untuk memiliki flatform terhadap pembangunan kelautan dan perikanan nasional. Keberpihakan dan flatform pembangunan kelautan dan perikanan para Capres tersebut, diyakini mampu menggerakan seluruh sektor terkait dalam mendukung percepatan pembangunan sektor ini. Hanyalah sebuah keniscayaan, harkat dan martabat masyarakat nelayan dapat ditingkatkan tanpa keberpihakan kebijakan pemimpin nasionalnya. Untuk itu, keberadaan nelayan sudah seharusnya menjadi pelaku utama pembangunan nasional, bukan obyek pembangunan sebagaimana yang selama ini berlangsung. Kedepan, sewajarnya keberhasilan dari suatu pelaksanaan pembangunan perikanan, tidak semata dinilai dan dipatok pada pencapaian perolehan devisa ataupun pertumbuhan ekonomi nasional. Namun yang lebih utama adalah keberhasilan dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Semoga!!!

0 komentar: