21 September 2008

Catatan Tulisan 2003

GMB, Tak Ada Salahnya Dicoba!

Sejarah mencatat, pada abad 2 dan 4 Masehi, para pelaut Indonesia sudah mengarungi lautan hingga ke Madagaskar. Mereka tak hanya singgah, namun menetap dan mendirikan sebuah kerajaan bernama Merina. Dan sekarang kenangkan sejarah tersebut kembali terulang dengan berlayarnya kapal borobudur Agustus lalu serta pelayaran tunggal cadik nusantara.
Yang menarik, motivasi para pelaut ini datang ke Madagaskar bukan karena tekanan politik atau ekonomi di tanah air sendiri, semata-mata karena rasa ingin tahu akan daerah asing. Dengan kata lain, sejak dulu masyarakat Indonesia sudah memiliki naluri melaut.
Sampai sekarang pun naluri dan kepiawaian itu tetap ada. Lihatlah Effendi Sulaiman, pria keturunan Bugis, dengan candiknya melakukan pelayaran tunggal Sabang – Marauke. Juga kapal Borobudur, Agustus lalu pun melakukan pelayarannya menuju Madagaskar.
Hanya saja, saat ini, kepiawaian melaut para nelayan tak sebanding dengan pendapatan yang mereka peroleh. Saya pernah bertanya kepada Ali, salah seorang nelayan di Cirebon, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, berapa banyak uang yang ia kumpulkan dari hasil melaut selama sebulan? Jawabnya, antara Rp 100 hingga Rp 200 ribu, jauh di bawah upah minimum regional daerah Jakarta.
Padahal, jika laut --termasuk juga perikanan darat-- dikelola secara benar, kita bisa mengambil ''harta karun'' senilai 82,06 miliar dolar AS (data dari Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003, masih berada dalam batas toleransi lestari).
Bayangkan, jika jumlah nelayan dan pembudidaya ikan di Indonesia ada 10 juta orang. Maka seorang nelayan dan pembudidaya ikan seharusnya bisa membawa pulang uang sebesar 8,206 dolar AS atau sebesar Rp 65,65 juta. Lalu, layakkah si Ali hanya mendapatkan uang sebesar Rp 200 ribu per bulan? Seharusnya tidak. Jika Islandia, negara kecil di kawasan Eropa, setiap penduduk bisa berpenghasilan 26 ribu dolar AS, dan 65 sampai 70 persen diperoleh dari sektor perikanan, mengapa Indonesia, dengan 3/4 wilayahnya adalah perairan, tidak bisa?

Gerakan Mina Bahari
Pemerintah, dimotori oleh Departemen Kelautan dan Perikanan, baru-baru ini menawarkan sebuah solusi untuk mengatasi masalah ini. Mereka ''mengawinkan si Mina dan si Bahari'' dalam sebuah gerakan pembangunan (Gerbang).
Mina artinya ikan, dan tak semua ikan berada di laut, ada juga yang di ''darat'' (perikanan darat), seperti sungai, kolam, tambak, dll. Sedang bahari artinya laut dengan segala potensinya.
Jadi, secara sederhana Gerbang Mina Bahari --disingkat GMB-- berarti pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal, berkelanjutan, dan berkeadilan, untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, dan semua masyarakat pesisir.

Solusi GMB dicanangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di Teluk Tomini pada 11 Oktober 2003. Bila gerakan ini berhasil, diperkirakan produksi perikanan pada 2006 akan mencapai 9,5 juta ton. Angka ini naik 5 juta ton jika dibanding produksi pada 2002 (yang besarnya 4,5 juta ton).
Selain itu, nilai devisa ekspor pada 2006 diperkirakan naik menjadi 10 miliar dolar AS dari 2 miliar dolar AS pada 2002. Penyerapan tenaga kerja minimal 7,4 juta orang, dan tingkat konsumsi ikan setiap orang sebanyak 30 kilogram per tahun.
Kedengarannya solusi ini sempurna. Tapi, semua ini masih sebatas teori. Praktiknya bisa sama dengan teori, bisa juga berbeda, tergantung dari terpenuhinya persyaratan atau tidak, serta faktor ''takdir'' yang kadang-kadang datang tak terduga dan sulit dielakkan. Misalnya, bencana alam, wabah penyakit, dsb.

Lantas, apa persyaratan agar praktik gerakan ini sama dengan teori yang ideal tersebut? Sederhana saja. Lakukanlah skenario gerakan secara konsisten, baik jangka pendek maupun jangka panjang, lalu dukunglah. Tak boleh ''setengah hati''.
Di antara skenario jangka pendek (2003-2004) adalah pemberdayaan masyarakat nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir lainnya di 300 kabupaten atau kota. Pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil di 30 provinsi, industri tambak udang terpadu di tujuh propinsi, pabrik chitosan di empat propinsi, industri sosis patin di empat propinsi, industri perikanan tangkap terpadu di tujuh daerah, dan pendirian pabrik pengolahan rumput laut di lima daerah.
Adapun skenario jangka panjangnya, yakni membangun sistem bisnis perikanan terpadu di setiap kabupaten/kota pesisir. Yang mana di daerah tersebut akan didirikan pabrik pengolahan ikan sebagai basis industri perikanan.
Agar skenario ini bisa berjalan mulus, dukungan pemimpin tertinggi negara, departemen terkait, para anggota dewan, TNI (khususnya angkatan laut) dan Polairud, dan semua lapisan masyarakat, mutlak diperlukan. Untuk itulah, keberadaan Kepres sangatlah diperlukan. Sebab, adanya kepres tersebut akan membantu mengatur pembagian fasilitas kredit usaha bagi nelayan, termasuk tingkat suku bunga.
Di Malaysia, suku bunga kredit usaha sektor kelautan dan perikanan sangat kecil, hanya 3,5 persen. Di Singapura lebih kecil lagi, yaitu 2 persen. Demikian juga dengan Thailand yang hanya 1,5 persen. Bahkan di Jepang 0 persen. Anehnya di Indonesia suku bunga kredit perikanan mencapai 16 – 17 persen.
Dukungan ini akan bertambah nyata jika peraturan perundangan -- revisi UU No.9 tahun 1985 tentang perikanan -- soal izin usaha perikanan tangkap dan budidaya sudah disetujui. Di dalam peraturan ini jelas tertulis bahwa prioritas usaha perikanan diberikan kepada nelayan kecil. Kalaupun ada pengusaha besar yang ikut, mereka harus mau bermitra dengan nelayan kecil atas dasar saling menguntungkan. Bila perlu, nelayan harus punya saham.

Harus Yakin
Adalah wajar jika sebuah solusi tak akan berdampak positif jika tanpa didukung oleh keyakinan. Sementara keyakinan sendiri harus didahului oleh proses menimbang-nimbang. Lantas, pertimbangan apa sehingga kita harus yakin dengan GMB?
Pertama, Indonesia pernah mencanangkan gerakan serupa untuk sektor pertanian. Namanya program Bimas. Program ini terbukti sukses mengantarkan Indonesia mencapai swasembada pangan pada 1984.
Korea Selatan juga demikian. Mereka memiliki gerakan ''Semaul Undong''. Gerakan ini langsung dipimpin oleh Presiden Park Chung Hee dan sukses pada era 60-an. Lantas, mengapa kita tak mencoba melakukan gerakan serupa dengan semangat yang sama?
Kedua, kegiatan ekonomi kelautan dan perikanan memiliki kandungan lokal yang sangat kuat dan padat karya. Mulai dari industri hulu sampai ke hilir semua memanfaatkan kandungan lokal. Ini berbeda dengan industri tekstil yang kebanyakan komponen produksinya masih harus impor. Akibatnya, ketika nilai rupiah anjlok, mereka pun ikut hancur.
Lihatlah industri tambak, hampir semua proses produksi bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat Indonesia. Pembenuran, penyediaan lahan, pakan udang, proses manajemen perairan, hingga pascapanen, semua tersedia di sini.
Belum lagi industri ikutannya. Adanya udang, tentu membutuhkan sarana pengawetan dan pengemasan, seperti es, karton, dsb. Industri ikutan ini akan sangat panjang dan beragam. Pada akhirnya akan menyerap tenaga kerja yang sangat banyak.

Ketiga, sumber daya perikanan bisa diperbaharui. Artinya, tak akan habis. Ini berbeda dengan sumberdaya mineral, seperti minyak bumi, gas, bahan tambang, yang lama kelamaan akan habis.
Keempat, pengembangan sektor kelautan dan perikanan akan melibatkan daerah. Sebab, sebagian besar aktivitas kelautan dan perikanan ada di daerah, bukan di kota-kota besar. Bila gerakan ini berjalan sesuai skenario, maka problem urbanisasi --meskipun tak sepenuhnya-- bisa teratasi. Ketimpangan ekonomi antara desa dan kota bisa terpecahkan. Pemerataan ekonomi bisa terwuju. Jadi, mengapa tidak kita coba saja GMB?

0 komentar: