17 September 2008

Ayo, Lebaran Bersama Ikan

Lebaran kembali tiba. Kebutuhan bahan pokok pun mulai beranjak naik, disamping kasus penyakit antraks yang membayangi masyarakat untuk mengkonsumsi daging. Lalu, kenapa dihari besar ini masyarakat Indonesia tidak mau beralih mengkonsumsi ikan? Padahal, Indonesia memiliki potensi ikan berlimpah, beragam jenis dan harganya pun dapat dijangkau masyarakat.


Indonesia merupakan negara yang dua per tiga wilayahnya terdiri atas perairan, dan memiliki sekitar 17.506 pulau dengan luas laut 5,8 juta km2. Lebih dari itu, Indonesia juga memiliki garis pantai sepanjang 81.000 Km (kedua terbesar didunia setelah Kanada). Bahkan, berdasarkan hasil kajian, sektor perikanan diperkirakan memiliki nilai ekonomis sekitar US$ 78.061 milyar yang dapat dihasilkan dari kegiatan usaha perikanan tangkap di laut, perikanan tangkap di perairan umum, perikanan budidaya laut (mariculture), perikanan budidaya tambak dan perikanan budidaya air tawar.
Namun sayang, keunggulan alam yang dimiliki belumlah diikuti oleh budaya masyarakatnya yang labih dari 200 juta jiwa dalam mengkonsumsi ikan. Fakta ini tercermin dari masih rendahnya tingkat konsumsi ikan nasional, 24,67 kg/kapita/tahun (DKP, 2004), atau cenderung lebih kecil dibandingkan tingkat konsumsi ikan pada beberapa negara maju lainnya, seperti Jepang (110 kg/kapita/tahun), Korea Selatan (85 kg/kapita/tahun), Malaysia (45 kg/kapita/tahun) dan Thailand (35 kg/kapita/tahun).
Fenomena di atas sepantasnyalah menjadi renungan bersama, khususnya para pengambil kebijakan, bahwasa budaya masyarakat mengkonsumsi ikan belum sepenuhnya tumbuh. Padahal, program gerakan Makan Ikan secara nasional telah dicanangkan pemerintah medio tahun 1996, era Presiden Soeharto, bahkan pada medio 2002 pun Presiden Megawati Soekarnoputri melakukan hal yang sama. Dan mudah-mudahan, Presiden SBY pun dapat melakukan hal sama seiring momentum pelaksanaan lebaran kali ini.


Harus Dicoba
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2003), rendahnya konsumsi masyarakat terhadap ikan karena beberapa hal, antara lain (1) masih rendahnya minat masyarakat untuk makan ikan yang disebabkan hambatan sosial-budaya; (2) ketersediaan ikan yang tidak merata dan kontinu di setiap wilayah; (3) mutu produk yang tersedia masih sangat rendah; (4) terbatasnya diversifikasi produk olahan; dan (5) sarana dan distribusi pemasaran sangat terbatas atau sangat minim baik kualitas, dan kuantitasnya. Karenanya, diperlukan strategi operasional untuk mendukung program dimaksud, seperti gagasan merubah kebiasaan menu berlebaran dengan daging menjadi ikan.
Untuk mewujudkannya perlu disiapkan beberapa instrumen yang dapat mengatasi beberapa hambatan di atas, seperti dukungan kebijakan pemerintah, sosialisasi dan publikasi konsumsi ikan dengan melibatkan tokoh masyarakat, pembangunan pasar ikan secara higienis, pengembangan usaha perikanan berbasiskan potensi daerah guna mencukupi kebutuhan daerah bersangkutan, pelatihan dan penyuluhan diversifikasi produk serta mutu hasil perikanan, dan penyediaan sarana trasportasi yang disesuaikan dengan karakteristik ikan sebagai sumberdaya yang bersifat high risk karena mudah busuk.

Pentingnya Dukungan Lintas Sektor
Rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi ikan sebagai menu utama dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari beberapa kendala di atas, sehingga pemahaman nilai konsumsi ikan hanya dipandang semata kepentingan individual. Padahal, ada kepentingan lain yang jauh lebih besar dari itu, yakni upaya menyehatkan dan mencerdaskan masyarakat Indonesia dari “rakusnya” mengkonsumsi ikan. Dalam arti kata, dicanangkannya gerakan makan ikan tidak terbatas pada tugas Departemen Kelautan dan Perikanan (sebelumnya Direktorat Jenderal Perikanan, Deptan), namun menjadi tanggung jawab bersama dari seluruh sektor yang terkait. Apabila diinventarisasi, setidaknya terdapat beberapa sektor yang kiranya sangat terkait dengan pelaksanaan gerakan makan ikan, seperti Menko Kesra, Menko Perekonomian, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Sosial, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja dan Trasmigrasi, Departemen Dalam Negeri serta Pemerintah Daerah, baik propinsi maupun kabupaten. Kesemuanya memiliki tanggung jawab yang sama terhadap keberlangsungan dari pelaksanaan gerakan makan ikan, karena meningkatnya konsumsi ikan nasional, berarti kecerdasan masyarakat meningkat, kesehatan masyarakat lebih terjamin, sumberdaya perikanan dapat dioptimalkan pemanfaatannya dan penyerapan kebutuhan ikan di tengah-tengah masyarakat meningkat, disamping tenaga kerja yang mengelolanya secara tidak langsung akan mengalami peningkatan.
Dukungan sektor lain terhadap gerakan makan ikan dapat disesuaikan dengan tugas pokoknya, seperti Departemen Tenaga Kerja dan Trasmigrasi menyeruhkan kepada kalangan perusahaan untuk dapat menyediakan menu ikan minimal 2 kali dalam seminggu, arahan Departemen Pendidikan Nasional kepada para pelajar untuk mengkonsumsi ikan, Departemen Kesehatan mensosialisasikan pentingnya makan ikan bagi generasi muda dan ibu hamil, serta Menko Ekuin dan Menko Kesra menyeruhkan kepada masyarakat, bahwasannya keterbatasan daging dalam negeri pada peringatan hari-hari besar dapat dieliminasi dengan pengadaan stock ikan nasional. Untuk menuju hal di atas, sepantasnyalah apabila sekarang ini produk ikan ditetapkan pemerintah sebagai menu nasional.

Tinjauan Dimensi Sosial-Ekonomi
Gerakan mengkonsumsi ikan di masyarakat, pada dasarnya dapat ditinjau dari dua dimensi, yakni dimensi sosial dan dimensi ekonomi, yang mana keduanya saling menguatkan satu sama lain. Dilihat dari sudut sosial, meningkatnya konsumsi ikan nasional berarti dapat menjadi salah satu indikator, bahwasannya kesadaran masyarakat akan manfaat mengkonsumsi ikan telah terbangun, dan upaya meminimalkan “jurang pemisah” antara masyarakat “kelas” atas dan bawah terwujud. Kenapa? Ikan dapat dikonsumsi dari berbagai lapisan, masyarakat dapat menikmatinya dalam berbagai jenis, ukuran dan aneka rasa. Sejatinya, gerakan makan ikan mampu mendorong masyarakat untuk lebih menghargai para pelakunya yang bergerak di sektor perikanan.
Penyediaan produk perikanan dalam jumlah besar masih sangatlah terbuka, sehingga sangatlah tepat apabila pemerintah menempatkan perikanan sebagai prime mover pembangunan nasional. Kenapa? Hal ini dilandasi pada beberapa argumen, yakni 2/3 wilayahnya meliputi perairan, sebagian besar masyarakat tinggal di wilayah pesisir, biodiversity perikanan tinggi, dan introduksi teknologi perikanan terus mengalami peningkatan. Artinya, misi para pendiri bangsa, pendayagunaan potensi sumberdaya alam (laut) untuk kemakmuran rakyat tertanam dalam sektor ini. Pendayagunaan sumberdaya laut (ikan), meminimalisasi ketergantungan bangsa ini dari produk luar, juga kekhawatiran berkurangnya penyerapan produk perikanan nasional karena adanya UU Bioterorisme, isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 1400), isu property right, isu responsible fisheries, isu precouteonary approach, isu Hak Azasi Manusia dan isu ketenagakerjaan dapat dihadapi karena tingginya penyerapan akan kebutuhan ikan dalam negeri, disamping kecerdasan, kekuatan dan kesehatan anak bangsa meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi ikan di masyarakat. Akankah impian ini terwujud? Semuanya kembali pada diri kita, seberapa tahukah? pentingkah? mampukah? masyarakat akan manfaat yang diperoleh dari mengkonsumsi ikan. Artinya, gerakan makan ikan haruslah menjadi gerakan yang “membumi”, bukan sebatas paksaan, namun sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi masyarakat…Semoga!!!


0 komentar: