21 September 2008

Catatan Tulisan Tahun 2004

Mencermati Refleksi Pembangunan Kelautan dan Perikanan

Refleksi Pembangunan Kelautan dan Perikanan telah disampaikan Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan pada pengujung tahun 2003. Beberapa keberhasilan telah dicapai, namun tidak sedikit pula “pekerjaan rumah” yang harus dilaksanakan. Kedepan, departemen ini haruslah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ekonomi Bangsa harap Menteri yang lahir dari keluarga nelayan.

Dalam usianya yang masih terbilang belia, baru empat tahun, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai institusi yang menggarap sektor kelautan dan perikanan diyakini mampu membantu Bangsa ini dalam melepaskan diri dari krisis moneter berkepanjangan. Dengan potensi ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan yang diperkirakan sekitar US$ 82 milyar. Tidaklah naif bila masyarakat dan bangsa berharap banyak pada sektor yang satu ini.
Disisi lain, keberadaan institusi yang terbilang baru, ibarat bayi yang baru lahir sudah dituntut harus cepat berlari. Artinya, institusi ini memikul beban berat. Beragam persoalan yang kompleks telah menghadang, seperti penangkapan ikan illegal (illegal fishing), penambangan pasir laut ilegal (illegal sanding), pencemaran laut dan pembuangan limbah secara ilegal oleh negara lain, gejala penangkapan ikan berlebih (over fishing), degradasi habitat pesisir (mangrove, terumbu karang, padang lamun, estuaria, dll), konflik penggunaan ruang dan sumberdaya, belum tersedianya teknologi kelautan dan perikanan secara memadai, terbatasnya sumber permodalan yang dapat digunakan untuk investasi, dan kemiskinan yang masih melilit sebagian besar penduduk di wilayah pesisir, khususnya nelayan dan petani ikan skala kecil, sehingga semua harapan masyarakat pesisir belumlah dapat dipenuhi secara cepat.
Sejatinya Departemen Kelautan dan Perikanan haruslah mampu menuntaskan segala persoalan yang menghadang, nyatanya tidak semudah membalik telapak tangan. Beragam persoalan cenderung bersifat lintas sektoral dan telah membudaya di masyarakat sehingga penanganannya perlu dilakukan secara terkoordinasi, kemitraan, aliansi, kolaborasi antar komponen serta dilakukan secara berkesinambungan. Meskipun beragam persolan belum mampu dituntaskan, setidaknyansejumlah keberhasilan lain patut juga kita perhatikan. Artinya, kita masih menaruh harapan pada sektor ini, apalagi bila beragam permasalahan yang menghadang mampu dituntaskan.
Layaknya sebuah departemen, pelaksanaan refleksi tahunan sangatlah diperlukan dan ditunggu guna mengukur implementasi program dan terobosan pembangunan yang telah dicapai, tidak terkecuali yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan. Sebagai institusi yang lahir seiring dengan era reformasi, keberadaannya diyakini mampu memberikan nilai tersendiri dibandingkan institusi lainnya. Artinya, institusi ini diyakini mampu membangun infrastruktur kelembagaan, sumberdaya manusia serta program yang berorientasi pada peningkatan kesejahtaraan masyarakat, berwawasan lingkungan dan ekonomi bangsa yang dilandasi semangat otonomi daerah.

Pencapaian Pembangunan
Dalam rangka mengukur implementasi pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan setidaknya terdapat beberapa variabel yang kiranya dapat dijadikan tolak ukur, seperti kontrubusi pendapatan negara yang dihasilkan departemen, produktifitas sebuah departemen dalam menghasilkan peraturan/kebijakan, dan kesempatan lapangan pekerjaan yang dihasilkan. Pertama, kontribusi pendapatan negara yang dihasilkan Departemen Kelautan dan Perikanan tersebar pada beberapa sumber, antara lain produksi perikanan, devisa negara, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional dan penyelamatan kerugian negara dari praktek illegal fishing. Produksi perikanan pada tahun 2003 diperkirakan mencapai 5,95 juta ton, lebih besar dibandingkan pada tahun 2000 sebesar 5,1 juta ton. Bahkan menurut data FAO, urutan Indonesia sebagai produsen perikanan dunia meningkat dari ketujuh menjadi keenam dunia pada tahun 2002, setelah China, Peru, Jepang, Chile, USA dan India. Sedangkan devisa negara, PNBP dan PDB yang dihasilkan sektor perikanan pada tahun 2003 meningkat, masing-masing menjadi US$ 2,1 milyar, sekitar 350 milyar dan 47 trilyun. Bandingkan dengan sebelum adanya institusi ini, devisa negara, PNBP dan PDB masing-masing hanya sebesar US$ 1,6 milyar, 0 milyar dan 25 trilyun. Selain itu, keberadaan institusi ini juga dinilai telah mengurangi kerugian negara dari US$ 4 milyar menjadi US$ 1 milyar.
Kedua, produktifitas sebuah departemen dalam menghasilkan peraturan/kebijakan. Variabel ini dianggap penting karena menjadi indikator sebuah institusi dalam mendorong lainnya penegakan hukum. Beberapa peraturan yang telah dan sedang dalam tahap penyusunan Departemen Kelautan dan Perikanan, antara lain revisi UU Perikanan Tahun 1985, penyusunan RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir, inventarisasi dan penyusunan pedoman pengelolaan pulau-pulau kecil serta ditutupnya kegiatan penambangan pasir laut yang telah berlangsung semenjak tahun 1976 melalui peran Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai Ketua TP4L. Ketiga, kesempatan lapangan pekerjaan baru yang dapat dihasilkan. Variabel dimaksud sangatlah penting, mengingat jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 diperkirakan mencapai 220 juta jiwa. Ambil contoh, jumlah masyarakat yang bekerja pada usaha perikanan tangkap, baik di laut maupun diperairan umum pada tahun 2003 adalah sebanyak 3,476 juta orang, meningkat dibandingkan dengan tahun 2000, yakni sebanyak 3,104 juta orang. Sedangkan jumlah pembudidaya ikan pada tahun 2002 adalah sebanyak 2,193 juta orang, meningkat 5,10% dibandingkan tahun 1999.
Semenjak pembentukannya, Departemen Kelautan dan Perikanan juga telah melakukan beberapa pencapaian lainnya, seperti peningkatan konsumsi ikan nasional sebesar 24,67 kg/kapita/tahun pada tahun 2003 atau meningkat 4,61% dibandingkatn tahun 2000, peningkatan pendapatan nelayan dibeberapa daerah sebagai dampak dari pelaksanaan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) semenjak tahun 2000, upaya pembangunan Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN)/Stasiun Pompa Bahan Bakar Nelayan (SPBN) sebanyak 1.620 titik wilayah Indonesia bersama Pertamina, dan pengembangan skim-skim kredit baru kepada para pelaku usaha perikanan - Kredit Mina Mandiri, Kredit Swamitra Mina dan BPR Pesisir -. Selain itu, upaya untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan juga melakukan terobosan berupa pencanangan Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan dan Perikanan (Gerbang Mina Bahari) oleh Presiden. Gerakan ini dimaksudkan agar variabel ekonomi makro semakin kondusif dalam mendukung pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan.

Peran Kedepan
Berbagai keberhasilan dan prestasi yang telah diukir Departemen Kelautan dan Perikanan, sejatinya telah memposisikan departemen ini sebagai institusi yang vital dan diperhitungkan. Keberadaan departemen ini sangat diperlukan masyarakat bagi kegiatan ekonominya dan negara ini bagi kepentingan pembangunan secara keseluruhan. Adalah wajar bila departemen ini kedepan menempatkan masalah kesejahteraan masyarakat dan ekonomi bangsa sebagai sasaran utama pembangunannya dalam bingkai Gerbang Mina Bahari. Artinya, program dan kegiatan Departemen Kelautan dan Perikanan kedepan sudah seharusnya diarahkan untuk mencapai sasaran dimaksud agar keberadaan sektor ini sebagai prime mover pembangunan nasional dapat diwujudkan.
Dalam upaya mewujudkannya, sudah seyogyanya bila Departemen ini melakukan beberapa langkah. Pertama, Sinergitas pembangunan kelautan dan perikanan pusat-daerah, langkah ini sebagai tindaklanjut dari perubahan lingkungan internal seiring dengan dilaksanakannya Otonomi Daerah. Inventarisasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan daerah diharapkan mampu mendorong daerah untuk lebih berkepentingan dalam mengoptimalkan sektor ini. Selain itu, penyelarasan kemampuan SDM dibidang kelautan dan perikanan diyakini mampu meningkatkan peran masyarakat lokal dalam berpartisipasi secara penuh melaksanakan pembangunan kelautan dan perikanan didaerahnya. Kedua, Pengendalian pembangunan perikanan tangkap. Upaya pengendalian sub sektor ini haruslah ditempuh melalui beberapa kegiatan, antara lain pengurangan secara bertahap jumlah nelayan Indonesia yang sekarang ini telah mencapai 3,476 juta orang hingga berada pada jumlah yang idela sebagaimana dengan kemampuan sumberdaya laut yang dimiliki, regulasi sistem perizinan penangkapan satu atap dengan berbasiskan pada kemampuan potensi sumberdaya perikanan, modernisasi armada perikanan sehingga mampu mendorong nelayan beroperasi di daerah ZEEI, peningkatan kemampuan manajemen penangkapan yang disertai dengan manajemen penanganan hasil tangkapan, mengurangi tingkat ketergantungan buruh pada juragan melalui pengembangan skim-skim kredit ringan, dan revitalisasi peran pelabuhan perikanan sebagai pusat informasi dan kegiatan nelayan. Ketiga, Pengembangan pembangunan budidaya perikanan. Opsi ini sangatlah tepat untuk diambil dan dilaksanakan, mengingat adanya keterbatasan sumberdaya perikanan yang dimiliki bila harus memenuhi pembangunan perikanan yang ditargetkan mampu menghasilkan devisa senilai US$ 82 milyar. Adalah wajar, bila kiranya pembangunan perikanan budidaya menempuh beberapa kebijakan, antara lain penetapan komoditas unggulan berdasarkan kebutuhan pasar nasional dan internasional, penyediaan suplay benih melalui pengembangan dan revitalisasi peran Unit Pembenihan Rakyat, pengembangan tenaga penyuluh perikanan dalam rangka alih teknologi dan berperan sebagai stimulator pengembangan perikanan budidaya, efesiensi biaya produksi dengan penyediaan pakan berkualitas dan harga terjangkau melalui pengembangan pabrik-pabrik pakan ikan pada sentra-sentra usaha budidaya, dan revitalisasi tambak nasional yang berbasiskan pada daya dukung lingkungan sekitar. Lihatlah industri tambak, hampir semua proses produksi bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat Indonesia. Pembenuran, penyediaan lahan, pakan udang, proses manajemen perairan, hingga pascapanen, semua tersedia di sini. Belum lagi industri ikutannya yang akan sangat panjang dan beragam, yang pada akhirnya akan mampu menyerap tenaga kerja yang sangat banyak.
Keempat, Peningkatan mutu dan deversifikasi produk olahan perikanan. Peningkatan mutu produk haruslah menjadi upaya serius untuk dilakukan, mengingat kesadaran masyarakat akan mutu suatu produk semakinlah meningkat. Selain itu, upaya tersebut juga mampu meningkatkan nilai tambah berupa pendapatan pelaku usaha perikanan, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat perikanan. Sedangkan deversifikasi olahan perikanan juga diyakni mampu memberikan nilai tambah serta penambah kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar. Pada akhirnya perolehan devisa negara dapat ditingkatkan. Beberapa langkah tersebut hanyalah sebatas pemikiran sepihak. Utamanya, “pekerjaan rumah” yang dipikul Departemen Kelautan dan Perikanan kedepan sangatlah komplek. Sinergitas dengan semua pihak sangatlah diperlukan. Beragam terobosan yang telah dilakukan haruslah menjadi pemacu semangat untuk berkarya lebih baik lagi kedepan. Terlepas dari beragam kekurangan yang dimiliki serta suara sumbang segelintir pihak akan eksistensi departemen ini. Sejatinya, haruslah diakui secara jujur bahwa keberadaan Departemen Kelautan dan Perikanan masihlah diperlukan dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan ekonomi bangsa. Semoga!!!