21 September 2008

Catatan Tulisan Tahun 2004

Mencermati Refleksi Pembangunan Kelautan dan Perikanan

Refleksi Pembangunan Kelautan dan Perikanan telah disampaikan Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan pada pengujung tahun 2003. Beberapa keberhasilan telah dicapai, namun tidak sedikit pula “pekerjaan rumah” yang harus dilaksanakan. Kedepan, departemen ini haruslah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan ekonomi Bangsa harap Menteri yang lahir dari keluarga nelayan.

Dalam usianya yang masih terbilang belia, baru empat tahun, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai institusi yang menggarap sektor kelautan dan perikanan diyakini mampu membantu Bangsa ini dalam melepaskan diri dari krisis moneter berkepanjangan. Dengan potensi ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan yang diperkirakan sekitar US$ 82 milyar. Tidaklah naif bila masyarakat dan bangsa berharap banyak pada sektor yang satu ini.
Disisi lain, keberadaan institusi yang terbilang baru, ibarat bayi yang baru lahir sudah dituntut harus cepat berlari. Artinya, institusi ini memikul beban berat. Beragam persoalan yang kompleks telah menghadang, seperti penangkapan ikan illegal (illegal fishing), penambangan pasir laut ilegal (illegal sanding), pencemaran laut dan pembuangan limbah secara ilegal oleh negara lain, gejala penangkapan ikan berlebih (over fishing), degradasi habitat pesisir (mangrove, terumbu karang, padang lamun, estuaria, dll), konflik penggunaan ruang dan sumberdaya, belum tersedianya teknologi kelautan dan perikanan secara memadai, terbatasnya sumber permodalan yang dapat digunakan untuk investasi, dan kemiskinan yang masih melilit sebagian besar penduduk di wilayah pesisir, khususnya nelayan dan petani ikan skala kecil, sehingga semua harapan masyarakat pesisir belumlah dapat dipenuhi secara cepat.
Sejatinya Departemen Kelautan dan Perikanan haruslah mampu menuntaskan segala persoalan yang menghadang, nyatanya tidak semudah membalik telapak tangan. Beragam persoalan cenderung bersifat lintas sektoral dan telah membudaya di masyarakat sehingga penanganannya perlu dilakukan secara terkoordinasi, kemitraan, aliansi, kolaborasi antar komponen serta dilakukan secara berkesinambungan. Meskipun beragam persolan belum mampu dituntaskan, setidaknyansejumlah keberhasilan lain patut juga kita perhatikan. Artinya, kita masih menaruh harapan pada sektor ini, apalagi bila beragam permasalahan yang menghadang mampu dituntaskan.
Layaknya sebuah departemen, pelaksanaan refleksi tahunan sangatlah diperlukan dan ditunggu guna mengukur implementasi program dan terobosan pembangunan yang telah dicapai, tidak terkecuali yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan. Sebagai institusi yang lahir seiring dengan era reformasi, keberadaannya diyakini mampu memberikan nilai tersendiri dibandingkan institusi lainnya. Artinya, institusi ini diyakini mampu membangun infrastruktur kelembagaan, sumberdaya manusia serta program yang berorientasi pada peningkatan kesejahtaraan masyarakat, berwawasan lingkungan dan ekonomi bangsa yang dilandasi semangat otonomi daerah.

Pencapaian Pembangunan
Dalam rangka mengukur implementasi pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan setidaknya terdapat beberapa variabel yang kiranya dapat dijadikan tolak ukur, seperti kontrubusi pendapatan negara yang dihasilkan departemen, produktifitas sebuah departemen dalam menghasilkan peraturan/kebijakan, dan kesempatan lapangan pekerjaan yang dihasilkan. Pertama, kontribusi pendapatan negara yang dihasilkan Departemen Kelautan dan Perikanan tersebar pada beberapa sumber, antara lain produksi perikanan, devisa negara, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional dan penyelamatan kerugian negara dari praktek illegal fishing. Produksi perikanan pada tahun 2003 diperkirakan mencapai 5,95 juta ton, lebih besar dibandingkan pada tahun 2000 sebesar 5,1 juta ton. Bahkan menurut data FAO, urutan Indonesia sebagai produsen perikanan dunia meningkat dari ketujuh menjadi keenam dunia pada tahun 2002, setelah China, Peru, Jepang, Chile, USA dan India. Sedangkan devisa negara, PNBP dan PDB yang dihasilkan sektor perikanan pada tahun 2003 meningkat, masing-masing menjadi US$ 2,1 milyar, sekitar 350 milyar dan 47 trilyun. Bandingkan dengan sebelum adanya institusi ini, devisa negara, PNBP dan PDB masing-masing hanya sebesar US$ 1,6 milyar, 0 milyar dan 25 trilyun. Selain itu, keberadaan institusi ini juga dinilai telah mengurangi kerugian negara dari US$ 4 milyar menjadi US$ 1 milyar.
Kedua, produktifitas sebuah departemen dalam menghasilkan peraturan/kebijakan. Variabel ini dianggap penting karena menjadi indikator sebuah institusi dalam mendorong lainnya penegakan hukum. Beberapa peraturan yang telah dan sedang dalam tahap penyusunan Departemen Kelautan dan Perikanan, antara lain revisi UU Perikanan Tahun 1985, penyusunan RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir, inventarisasi dan penyusunan pedoman pengelolaan pulau-pulau kecil serta ditutupnya kegiatan penambangan pasir laut yang telah berlangsung semenjak tahun 1976 melalui peran Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai Ketua TP4L. Ketiga, kesempatan lapangan pekerjaan baru yang dapat dihasilkan. Variabel dimaksud sangatlah penting, mengingat jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 diperkirakan mencapai 220 juta jiwa. Ambil contoh, jumlah masyarakat yang bekerja pada usaha perikanan tangkap, baik di laut maupun diperairan umum pada tahun 2003 adalah sebanyak 3,476 juta orang, meningkat dibandingkan dengan tahun 2000, yakni sebanyak 3,104 juta orang. Sedangkan jumlah pembudidaya ikan pada tahun 2002 adalah sebanyak 2,193 juta orang, meningkat 5,10% dibandingkan tahun 1999.
Semenjak pembentukannya, Departemen Kelautan dan Perikanan juga telah melakukan beberapa pencapaian lainnya, seperti peningkatan konsumsi ikan nasional sebesar 24,67 kg/kapita/tahun pada tahun 2003 atau meningkat 4,61% dibandingkatn tahun 2000, peningkatan pendapatan nelayan dibeberapa daerah sebagai dampak dari pelaksanaan program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) semenjak tahun 2000, upaya pembangunan Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN)/Stasiun Pompa Bahan Bakar Nelayan (SPBN) sebanyak 1.620 titik wilayah Indonesia bersama Pertamina, dan pengembangan skim-skim kredit baru kepada para pelaku usaha perikanan - Kredit Mina Mandiri, Kredit Swamitra Mina dan BPR Pesisir -. Selain itu, upaya untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan juga melakukan terobosan berupa pencanangan Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan dan Perikanan (Gerbang Mina Bahari) oleh Presiden. Gerakan ini dimaksudkan agar variabel ekonomi makro semakin kondusif dalam mendukung pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan.

Peran Kedepan
Berbagai keberhasilan dan prestasi yang telah diukir Departemen Kelautan dan Perikanan, sejatinya telah memposisikan departemen ini sebagai institusi yang vital dan diperhitungkan. Keberadaan departemen ini sangat diperlukan masyarakat bagi kegiatan ekonominya dan negara ini bagi kepentingan pembangunan secara keseluruhan. Adalah wajar bila departemen ini kedepan menempatkan masalah kesejahteraan masyarakat dan ekonomi bangsa sebagai sasaran utama pembangunannya dalam bingkai Gerbang Mina Bahari. Artinya, program dan kegiatan Departemen Kelautan dan Perikanan kedepan sudah seharusnya diarahkan untuk mencapai sasaran dimaksud agar keberadaan sektor ini sebagai prime mover pembangunan nasional dapat diwujudkan.
Dalam upaya mewujudkannya, sudah seyogyanya bila Departemen ini melakukan beberapa langkah. Pertama, Sinergitas pembangunan kelautan dan perikanan pusat-daerah, langkah ini sebagai tindaklanjut dari perubahan lingkungan internal seiring dengan dilaksanakannya Otonomi Daerah. Inventarisasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan daerah diharapkan mampu mendorong daerah untuk lebih berkepentingan dalam mengoptimalkan sektor ini. Selain itu, penyelarasan kemampuan SDM dibidang kelautan dan perikanan diyakini mampu meningkatkan peran masyarakat lokal dalam berpartisipasi secara penuh melaksanakan pembangunan kelautan dan perikanan didaerahnya. Kedua, Pengendalian pembangunan perikanan tangkap. Upaya pengendalian sub sektor ini haruslah ditempuh melalui beberapa kegiatan, antara lain pengurangan secara bertahap jumlah nelayan Indonesia yang sekarang ini telah mencapai 3,476 juta orang hingga berada pada jumlah yang idela sebagaimana dengan kemampuan sumberdaya laut yang dimiliki, regulasi sistem perizinan penangkapan satu atap dengan berbasiskan pada kemampuan potensi sumberdaya perikanan, modernisasi armada perikanan sehingga mampu mendorong nelayan beroperasi di daerah ZEEI, peningkatan kemampuan manajemen penangkapan yang disertai dengan manajemen penanganan hasil tangkapan, mengurangi tingkat ketergantungan buruh pada juragan melalui pengembangan skim-skim kredit ringan, dan revitalisasi peran pelabuhan perikanan sebagai pusat informasi dan kegiatan nelayan. Ketiga, Pengembangan pembangunan budidaya perikanan. Opsi ini sangatlah tepat untuk diambil dan dilaksanakan, mengingat adanya keterbatasan sumberdaya perikanan yang dimiliki bila harus memenuhi pembangunan perikanan yang ditargetkan mampu menghasilkan devisa senilai US$ 82 milyar. Adalah wajar, bila kiranya pembangunan perikanan budidaya menempuh beberapa kebijakan, antara lain penetapan komoditas unggulan berdasarkan kebutuhan pasar nasional dan internasional, penyediaan suplay benih melalui pengembangan dan revitalisasi peran Unit Pembenihan Rakyat, pengembangan tenaga penyuluh perikanan dalam rangka alih teknologi dan berperan sebagai stimulator pengembangan perikanan budidaya, efesiensi biaya produksi dengan penyediaan pakan berkualitas dan harga terjangkau melalui pengembangan pabrik-pabrik pakan ikan pada sentra-sentra usaha budidaya, dan revitalisasi tambak nasional yang berbasiskan pada daya dukung lingkungan sekitar. Lihatlah industri tambak, hampir semua proses produksi bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat Indonesia. Pembenuran, penyediaan lahan, pakan udang, proses manajemen perairan, hingga pascapanen, semua tersedia di sini. Belum lagi industri ikutannya yang akan sangat panjang dan beragam, yang pada akhirnya akan mampu menyerap tenaga kerja yang sangat banyak.
Keempat, Peningkatan mutu dan deversifikasi produk olahan perikanan. Peningkatan mutu produk haruslah menjadi upaya serius untuk dilakukan, mengingat kesadaran masyarakat akan mutu suatu produk semakinlah meningkat. Selain itu, upaya tersebut juga mampu meningkatkan nilai tambah berupa pendapatan pelaku usaha perikanan, yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat perikanan. Sedangkan deversifikasi olahan perikanan juga diyakni mampu memberikan nilai tambah serta penambah kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar. Pada akhirnya perolehan devisa negara dapat ditingkatkan. Beberapa langkah tersebut hanyalah sebatas pemikiran sepihak. Utamanya, “pekerjaan rumah” yang dipikul Departemen Kelautan dan Perikanan kedepan sangatlah komplek. Sinergitas dengan semua pihak sangatlah diperlukan. Beragam terobosan yang telah dilakukan haruslah menjadi pemacu semangat untuk berkarya lebih baik lagi kedepan. Terlepas dari beragam kekurangan yang dimiliki serta suara sumbang segelintir pihak akan eksistensi departemen ini. Sejatinya, haruslah diakui secara jujur bahwa keberadaan Departemen Kelautan dan Perikanan masihlah diperlukan dalam membangun kesejahteraan masyarakat dan ekonomi bangsa. Semoga!!!

Catatan Tulisan 2003

GMB, Tak Ada Salahnya Dicoba!

Sejarah mencatat, pada abad 2 dan 4 Masehi, para pelaut Indonesia sudah mengarungi lautan hingga ke Madagaskar. Mereka tak hanya singgah, namun menetap dan mendirikan sebuah kerajaan bernama Merina. Dan sekarang kenangkan sejarah tersebut kembali terulang dengan berlayarnya kapal borobudur Agustus lalu serta pelayaran tunggal cadik nusantara.
Yang menarik, motivasi para pelaut ini datang ke Madagaskar bukan karena tekanan politik atau ekonomi di tanah air sendiri, semata-mata karena rasa ingin tahu akan daerah asing. Dengan kata lain, sejak dulu masyarakat Indonesia sudah memiliki naluri melaut.
Sampai sekarang pun naluri dan kepiawaian itu tetap ada. Lihatlah Effendi Sulaiman, pria keturunan Bugis, dengan candiknya melakukan pelayaran tunggal Sabang – Marauke. Juga kapal Borobudur, Agustus lalu pun melakukan pelayarannya menuju Madagaskar.
Hanya saja, saat ini, kepiawaian melaut para nelayan tak sebanding dengan pendapatan yang mereka peroleh. Saya pernah bertanya kepada Ali, salah seorang nelayan di Cirebon, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, berapa banyak uang yang ia kumpulkan dari hasil melaut selama sebulan? Jawabnya, antara Rp 100 hingga Rp 200 ribu, jauh di bawah upah minimum regional daerah Jakarta.
Padahal, jika laut --termasuk juga perikanan darat-- dikelola secara benar, kita bisa mengambil ''harta karun'' senilai 82,06 miliar dolar AS (data dari Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003, masih berada dalam batas toleransi lestari).
Bayangkan, jika jumlah nelayan dan pembudidaya ikan di Indonesia ada 10 juta orang. Maka seorang nelayan dan pembudidaya ikan seharusnya bisa membawa pulang uang sebesar 8,206 dolar AS atau sebesar Rp 65,65 juta. Lalu, layakkah si Ali hanya mendapatkan uang sebesar Rp 200 ribu per bulan? Seharusnya tidak. Jika Islandia, negara kecil di kawasan Eropa, setiap penduduk bisa berpenghasilan 26 ribu dolar AS, dan 65 sampai 70 persen diperoleh dari sektor perikanan, mengapa Indonesia, dengan 3/4 wilayahnya adalah perairan, tidak bisa?

Gerakan Mina Bahari
Pemerintah, dimotori oleh Departemen Kelautan dan Perikanan, baru-baru ini menawarkan sebuah solusi untuk mengatasi masalah ini. Mereka ''mengawinkan si Mina dan si Bahari'' dalam sebuah gerakan pembangunan (Gerbang).
Mina artinya ikan, dan tak semua ikan berada di laut, ada juga yang di ''darat'' (perikanan darat), seperti sungai, kolam, tambak, dll. Sedang bahari artinya laut dengan segala potensinya.
Jadi, secara sederhana Gerbang Mina Bahari --disingkat GMB-- berarti pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal, berkelanjutan, dan berkeadilan, untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya ikan, dan semua masyarakat pesisir.

Solusi GMB dicanangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di Teluk Tomini pada 11 Oktober 2003. Bila gerakan ini berhasil, diperkirakan produksi perikanan pada 2006 akan mencapai 9,5 juta ton. Angka ini naik 5 juta ton jika dibanding produksi pada 2002 (yang besarnya 4,5 juta ton).
Selain itu, nilai devisa ekspor pada 2006 diperkirakan naik menjadi 10 miliar dolar AS dari 2 miliar dolar AS pada 2002. Penyerapan tenaga kerja minimal 7,4 juta orang, dan tingkat konsumsi ikan setiap orang sebanyak 30 kilogram per tahun.
Kedengarannya solusi ini sempurna. Tapi, semua ini masih sebatas teori. Praktiknya bisa sama dengan teori, bisa juga berbeda, tergantung dari terpenuhinya persyaratan atau tidak, serta faktor ''takdir'' yang kadang-kadang datang tak terduga dan sulit dielakkan. Misalnya, bencana alam, wabah penyakit, dsb.

Lantas, apa persyaratan agar praktik gerakan ini sama dengan teori yang ideal tersebut? Sederhana saja. Lakukanlah skenario gerakan secara konsisten, baik jangka pendek maupun jangka panjang, lalu dukunglah. Tak boleh ''setengah hati''.
Di antara skenario jangka pendek (2003-2004) adalah pemberdayaan masyarakat nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir lainnya di 300 kabupaten atau kota. Pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil di 30 provinsi, industri tambak udang terpadu di tujuh propinsi, pabrik chitosan di empat propinsi, industri sosis patin di empat propinsi, industri perikanan tangkap terpadu di tujuh daerah, dan pendirian pabrik pengolahan rumput laut di lima daerah.
Adapun skenario jangka panjangnya, yakni membangun sistem bisnis perikanan terpadu di setiap kabupaten/kota pesisir. Yang mana di daerah tersebut akan didirikan pabrik pengolahan ikan sebagai basis industri perikanan.
Agar skenario ini bisa berjalan mulus, dukungan pemimpin tertinggi negara, departemen terkait, para anggota dewan, TNI (khususnya angkatan laut) dan Polairud, dan semua lapisan masyarakat, mutlak diperlukan. Untuk itulah, keberadaan Kepres sangatlah diperlukan. Sebab, adanya kepres tersebut akan membantu mengatur pembagian fasilitas kredit usaha bagi nelayan, termasuk tingkat suku bunga.
Di Malaysia, suku bunga kredit usaha sektor kelautan dan perikanan sangat kecil, hanya 3,5 persen. Di Singapura lebih kecil lagi, yaitu 2 persen. Demikian juga dengan Thailand yang hanya 1,5 persen. Bahkan di Jepang 0 persen. Anehnya di Indonesia suku bunga kredit perikanan mencapai 16 – 17 persen.
Dukungan ini akan bertambah nyata jika peraturan perundangan -- revisi UU No.9 tahun 1985 tentang perikanan -- soal izin usaha perikanan tangkap dan budidaya sudah disetujui. Di dalam peraturan ini jelas tertulis bahwa prioritas usaha perikanan diberikan kepada nelayan kecil. Kalaupun ada pengusaha besar yang ikut, mereka harus mau bermitra dengan nelayan kecil atas dasar saling menguntungkan. Bila perlu, nelayan harus punya saham.

Harus Yakin
Adalah wajar jika sebuah solusi tak akan berdampak positif jika tanpa didukung oleh keyakinan. Sementara keyakinan sendiri harus didahului oleh proses menimbang-nimbang. Lantas, pertimbangan apa sehingga kita harus yakin dengan GMB?
Pertama, Indonesia pernah mencanangkan gerakan serupa untuk sektor pertanian. Namanya program Bimas. Program ini terbukti sukses mengantarkan Indonesia mencapai swasembada pangan pada 1984.
Korea Selatan juga demikian. Mereka memiliki gerakan ''Semaul Undong''. Gerakan ini langsung dipimpin oleh Presiden Park Chung Hee dan sukses pada era 60-an. Lantas, mengapa kita tak mencoba melakukan gerakan serupa dengan semangat yang sama?
Kedua, kegiatan ekonomi kelautan dan perikanan memiliki kandungan lokal yang sangat kuat dan padat karya. Mulai dari industri hulu sampai ke hilir semua memanfaatkan kandungan lokal. Ini berbeda dengan industri tekstil yang kebanyakan komponen produksinya masih harus impor. Akibatnya, ketika nilai rupiah anjlok, mereka pun ikut hancur.
Lihatlah industri tambak, hampir semua proses produksi bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat Indonesia. Pembenuran, penyediaan lahan, pakan udang, proses manajemen perairan, hingga pascapanen, semua tersedia di sini.
Belum lagi industri ikutannya. Adanya udang, tentu membutuhkan sarana pengawetan dan pengemasan, seperti es, karton, dsb. Industri ikutan ini akan sangat panjang dan beragam. Pada akhirnya akan menyerap tenaga kerja yang sangat banyak.

Ketiga, sumber daya perikanan bisa diperbaharui. Artinya, tak akan habis. Ini berbeda dengan sumberdaya mineral, seperti minyak bumi, gas, bahan tambang, yang lama kelamaan akan habis.
Keempat, pengembangan sektor kelautan dan perikanan akan melibatkan daerah. Sebab, sebagian besar aktivitas kelautan dan perikanan ada di daerah, bukan di kota-kota besar. Bila gerakan ini berjalan sesuai skenario, maka problem urbanisasi --meskipun tak sepenuhnya-- bisa teratasi. Ketimpangan ekonomi antara desa dan kota bisa terpecahkan. Pemerataan ekonomi bisa terwuju. Jadi, mengapa tidak kita coba saja GMB?

17 September 2008

Rekonseptualisasi Gerakan Makan Ikan:
Tinjauan Dimensi Sosial-Ekonomi


Apabila ditinjau dari segi geografis dan potensi perikanan yang dimiliki, sepantasnyalah Bangsa ini dijuluki sebagai negara Bahari. Namun sayang, keunggulan alam yang dimiliki belumlah diikuti oleh budaya masyarakatnya dalam mengkonsumsi ikan. Fakta ini tercermin dari rendahnya tingkat konsumsi ikan nasional, 26,0 kg/kapita/tahun (DKP, 2008), atau cenderung lebih kecil dibandingkan tingkat konsumsi ikan pada beberapa negara maju, seperti Jepang (110 kg/kapita/tahun), Korea Selatan (85 kg/kapita/tahun), Malaysia (45 kg/kapita/tahun), dan Thailand (35 kg/kapita/tahun).

Fenomena di atas sepantasnyalah menjadi renungan bersama, khususnya insan perikanan bahwasannya upaya untuk menumbuhkembangkan budaya makan ikan belumlah tercapai. Padahal apabila kita coba berpikir ke depan, sebenarnya menggerakan budaya mengkonsumsi ikan di masyarakat adalah bagian pemerintah dalam upaya mencerdaskan generasi bangsa. Coba kita tengok kebelakang, Program Gemar Makan Ikan sebenarnya telah dicanangkan pemerintah medio tahun 1996, era Presiden Soeharto, bahkan pada tanggal 30 Mei 2002 dalam acara Pembukaan Rapat Kerja Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan, kembali Presiden Megawati Soekarnoputri menyampaikan pentingnya Gerakan Makan Ikan sebagai wujud identitas bangsa dalam memanfaatkan sumberdayanya secara optimal, sekaligus mencerdaskan masyarakatnya. Kedua momentum di atas, setidaknya menjadi “payung” politis dalam menggagas pentingnya dilaksanakan gerakan makan ikan sebagai program nasional yang perlu diimplementasikan di masyarakat secara luas, tidak terbatas hanya pada legitimasi publik.
Rendahnya tingkat konsumsi ikan tersebut, menurut Departemen Kelautan dan Perikanan disebabkan karena beberapa hal, antara lain : (1) masih rendahnya minat masyarakat untuk makan ikan yang disebabkan hambatan sosial-budaya ; (2) ketersediaan ikan yang tidak merata dan kontinu di setiap wilayah ; (3) mutu produk yang tersedia masih sangat rendah ; (4) terbatasnya diversifikasi produk olahan ; dan (5) sarana dan distribusi pemasaran sangat terbatas atau sangat minim baik kualitas, dan kuantitasnya. Oleh karenanya, diperlukan strategi operasional guna mendukung program dimaksud, sehingga gerakan makan ikan tidak terbatas pada slogan, namun menjadi sebuah budaya yang mengakar ditengah-tengah masyarakat. Untuk menuju ke arah tersebut, setidaknya perlu disiapkan beberapa instrumen yang dapat mengatasi beberapa hambatan di atas, seperti dukungan kebijakan pemerintah, sosialisasi dan publikasi konsumsi ikan dengan melibatkan tokoh masyarakat, pengembangan usaha perikanan berbasiskan potensi daerah guna mencukupi kebutuhan daerah bersangkutan, pelatihan dan penyuluhan diversifikasi produk serta mutu hasil perikanan, dan penyediaan sarana trasportasi yang disesuaikan dengan karakteristik ikan sebagai sumberdaya yang bersifat high risk karena mudah busuk. Untuk mengimplementasikan langkah tersebut, patut kiranya gerakan makan ikan didukung oleh kebijakan sektor lainnya. Kenapa? karena membangun dan mencerdaskan bangsa merupakan tanggung jawab bersama sebagaimana yang telah termuat dalam UUD 1945.


Gerakan, Wahana Membangun Budaya
Gerakan yang diartikan sebagai perubahan ke arah yang lebih baik sesuai yang diinginkan dalam waktu yang relatif singkat, selama ini umumnya cenderung bersifat sesaat, atau dalam arti kata gerakan cenderung mengutamakan acara seremonialnya, dibandingkan sasaran yang hendak dicapai. Akibatnya, gerakan yang dicanangkan bersifat tidak mengakar karena tidak diikuti dan didukung oleh masyarakatnya. Disamping, tatanan konseptualnya lebih bersifat top down serta tidak adanya pemberdayaan tokoh masyarakat dalam proses sosialisasinya, sehingga gerakan lebih banyak disuarakan, dibandingkan dilakukan. Fakta di atas, satu diantaranya tercermin dari rendahnya prosentase peningkatan tingkat konsumsi ikan nasional, dibandingkan beberapa negara lain, bahkan sebagian masyarakat Jawa percaya, “makan ikan dapat menyebabkan cacingan” masih belum sepenuhnya pupus.
Berpijak pada kondisi di atas, perlu kiranya dilakukan reorientasi konsep dalam mengimplementasikan sebuah gerakan, sehingga gerakan yang akan kita bangun mampu menjadi stimulator lahirnya budaya baru, menggiring masyarakat pada nilai-nilai budaya baru yang bernilai positif dengan tetap menghargai nilai-nilai lokal. Untuk mewujudkannya, diperlukan waktu dan kajian yang dilandasi semangat ilmiah, kontinuitas inovasi produk, pendayagunaan peran public relation serta pelibatan seluruh elemen pemerintah dan masyarakat. Cobalah tengok keberhasilan produsen ayam goreng asal Amerika Serikat – Mc Donald, Kentucky Fried Chicken (KFC) dan California Fried Chicken (KFC) - dalam waktu yang relatif singkat menjadi budaya baru di masyarakat Indonesia, bahkan produk “contekannya” dapat dijumpai di berbagai pinggir jalan, akhirnya produk ayam goreng dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Terobosan yang dilakukan oleh produsen ayam goreng asal Negara Paman Sam tersebut, seyogyanya menjadi acuan dalam menciptakan budaya baru, budaya dalam mengkonsumsi ikan di masyarakat Indonesia. Sosialisasi dan publikasi seputar ikan haruslah dilakukan secara kontinu dan dalam waktu panjang serta ditangani pihak yang profesional, yang mana akhirnya citra positif akan pentingnya mengkonsumsi ikan dapat terbentuk di masyarakat. Selama proses sosialisasi dan publikasi berlangsung, perlu kiranya disiapkan beberapa atribut penting lainnya, seperti kontinuitas ketersediaan produk, keseimbangan lingkungan dalam produksi, diversifikasi olahan, isolasi dan counter isu negatif produk yang tidak bertanggungjawab, jaminan mutu produk, variatif harga dan kelancaran distrubusi, sehingga hambatan-hambatan tersebut tadi tidak “menjegal” pelaksanaan gerakan.

Pentingnya Dukungan Lintas Sektoral
Rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi ikan sebagai menu utama dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari beberapa kendala di atas, sehingga pemahaman nilai konsumsi ikan hanya dipandang semata kepentingan individual. Padahal, ada kepentingan lain yang jauh lebih besar dari itu, yakni upaya menyehatkan dan mencerdaskan masyarakat Indonesia dari “rakusnya” mengkonsumsi ikan. Dalam arti kata, dicanangkannya gerakan makan ikan tidak terbatas pada tugas Departemen Kelautan dan Perikanan (sebelumnya Direktorat Jenderal Perikanan, Deptan), namun menjadi tanggung jawab bersama dari seluruh sektor yang terkait. Apabila diinventarisasi, setidaknya terdapat beberapa sektor yang kiranya sangat terkait dengan pelaksanaan gerakan makan ikan, seperti Menko Kesra, Menko Perekonomian, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Sosial, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja dan Trasmigrasi, Departemen Dalam Negeri serta Pemerintah Daerah, baik propinsi maupun kabupaten. Kesemuanya memiliki tanggung jawab yang sama terhadap keberlangsungan dari pelaksanaan gerakan makan ikan, karena meningkatnya konsumsi ikan nasional, berarti kecerdasan masyarakat meningkat, kesehatan masyarakat lebih terjamin, sumberdaya perikanan dapat dioptimalkan pemanfaatannya dan penyerapan kebutuhan ikan di tengah-tengah masyarakat meningkat, disamping tenaga kerja yang mengelolanya secara tidak langsung akan mengalami peningkatan.
Dukungan sektor lain terhadap gerakan makan ikan dapat disesuaikan dengan tugas pokoknya, seperti Departemen Tenaga Kerja dan Trasmigrasi menyeruhkan kepada kalangan perusahaan untuk dapat menyediakan menu ikan minimal 2 kali dalam seminggu, arahan Departemen Pendidikan Nasional kepada para pelajar untuk mengkonsumsi ikan, Departemen Kesehatan mensosialisasikan pentingnya makan ikan bagi generasi muda dan ibu hamil, serta Menko Ekuin dan Menko Kesra menyeruhkan kepada masyarakat, bahwasannya keterbatasan daging dalam negeri pada peringatan hari-hari besar dapat dieliminasi dengan pengadaan stock ikan nasional. Untuk menuju hal di atas, sepantasnyalah apabila sekarang ini produk ikan ditetapkan pemerintah sebagai menu nasional.

Tinjauan Dimensi Sosial-Ekonomi
Gerakan mengkonsumsi ikan di masyarakat, pada dasarnya dapat ditinjau dari dua dimensi, yakni dimensi sosial dan dimensi ekonomi, yang mana keduanya saling menguatkan satu sama lain. Dilihat dari sudut sosial, meningkatnya konsumsi ikan nasional berarti dapat menjadi salah satu indikator, bahwasannya kesadaran masyarakat akan manfaat mengkonsumsi ikan telah terbangun, dan upaya meminimalkan “jurang pemisah” antara masyarakat “kelas” atas dan bawah terwujud. Kenapa? Ikan dapat dikonsumsi dari berbagai lapisan, masyarakat dapat menikmatinya dalam berbagai jenis, ukuran dan aneka rasa. Sejatinya, gerakan makan ikan mampu mendorong masyarakat untuk lebih menghargai para pelakunya yang bergerak di sektor perikanan.
Penyediaan produk perikanan dalam jumlah besar masih sangatlah terbuka, sehingga sangatlah tepat apabila pemerintah menempatkan perikanan sebagai prime mover pembangunan nasional. Kenapa? Hal ini dilandasi pada beberapa argumen, yakni 2/3 wilayahnya meliputi perairan, sebagian besar masyarakat tinggal di wilayah pesisir, biodiversity perikanan tinggi, dan introduksi teknologi perikanan terus mengalami peningkatan. Artinya, misi para pendiri bangsa, pendayagunaan potensi sumberdaya alam (laut) untuk kemakmuran rakyat tertanam dalam sektor ini. Pendayagunaan sumberdaya laut (ikan), meminimalisasi ketergantungan bangsa ini dari produk luar, juga kekhawatiran berkurangnya penyerapan produk perikanan nasional karena adanya UU Bioterorisme, isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 1400), isu property right, isu responsible fisheries, isu precouteonary approach, isu Hak Azasi Manusia dan isu ketenagakerjaan dapat dihadapi karena tingginya penyerapan akan kebutuhan ikan dalam negeri, disamping kecerdasan, kekuatan dan kesehatan anak bangsa meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi ikan di masyarakat. Akankah impian ini terwujud? Semuanya kembali pada diri kita, seberapa tahukah? pentingkah? mampukah? masyarakat akan manfaat yang diperoleh dari mengkonsumsi ikan. Artinya, gerakan makan ikan haruslah menjadi gerakan yang “membumi”, bukan sebatas paksaan, namun sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi masyarakat…







Pilpres dan Nasib Nelayan

Sebentar lagi kita kembali melaksanakan pesta demokrasi dengan agenda utama pemilihan Presiden. Masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan menjadi target untuk mendulang suara. Ironisnya, pembangunan perikanan dan kelautan belum menjadi platform utama. Padahal, Indonesia memiliki sekitar 17.506 pulau dengan luas laut 5,8 juta km2. Lebih dari itu, Indonesia juga memiliki potensi lestari sumberdaya perikanan sebesar 6,2 juta ton per tahun. Cukup kaya dan melimpah. Kenyataannya, kehidupan nelayan masih terbelenggu kemiskinan, bahkan cenderung terpinggirkan. Akankan nelayan menjadi tuan rumah di lautnya sendiri pada pemimpin baru nanti?

Komunitas masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris yang petani. Karakterisitik masyarakat nelayan terbentuk mengikuti sifat dinamis sumberdaya yang digarapnya, sehingga untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal maka nelayan harus berpindah-pindah. Selain itu, resiko usaha yang tinggi menyebabkan masyarakat nelayan cenderung memiliki karakter khas, yakni keras, tegas dan terbuka.
Posisi tingkat sosial masyarakat inilah yang cenderung menempatkan nelayan berada dalam lingkaran garis kemiskinan, baik secara struktural maupun kultural yang mengantarkannya menjadi komunitas masyarakat terpinggirkan dalam proses pembangunan masa lalu. Secara politis, keberadaan rumah tangga nelayan sekitar 30 juta memiliki pengaruh yang signifikan dalam setiap pelaksanaan Pemilu maupun Pilpres yang saat ini dilakukan secara langsung. Nyatanya, keberadaan mereka cenderung hanya dijadikan obyek kepentingan sesaat. Kondisi itu jelas terlihat saat pelaksanaan Pemilu lalu yang digunakan kepentingan kemenangan Parpol tertentu.
Sebagai suatu kegiatan usaha yang memiliki resiko dan ketidakpastian, telah menciptakan hubungan khas patron-klien pada komunitas nelayan. Hubungan yang didasarkan pada emotional friendship dan instrumental friendship ini telah mengakar hingga beberapa generasi nelayan diberbagai wilayah pesisir. Akibatnya, nelayan cenderung dihadapkan pada sejumlah masalah yang tidak pernah tuntas, seperti pelunasan kredit yang tidak pernah berakhir dan harga ikan yang lebih rendah dari harga pasar. Pada akhirnya, proses “pengawetan “ kemiskinan pada masyakat nelayan terus berlanjut.
Melihat problematika di atas, sebenarnya cukup banyak kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah tersebut. Hanya saja, hingga kini masalah kemiskinan nelayan belum juga terselesaikan. Terakhir, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengeluarkan beberapa kebijakan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Kenyataannya belum memberikan hasil yang optimal. Penyebabnya, keseriusan pemimpin nasional dan instansi terkait untuk mendukung kebijakan dimaksud relatif masih rendah.


Primadona dan Kemiskinan
Pada periode 1945 – 1980, kegiatan usaha perikanan mengalami tahap booming. Periode ini ditandai dengan meningkatnya permintaan terhadap ikan seiring membaiknya kondisi perekonomian; terjadinya revolusi usaha penangkapan ikan berlangsung seiring dengan berkembangnya serat sintetis, penggunaan alat elektronik (fish finder, sonar) dan berbagai alat mekanik penangkapan (powerblock, winch); meningkatnya teknik pengolahan (segar, beku dan pengalengan); dan berkembangnya teknis pengemasan serta teknik transportasi. Revolusi alat tangkap tersebut telah mendorong penggunaan alat tangkap trawl dan purse seine yang berakibat pada meningkatnya aktivitas penangkapan secara cepat. Kondisi tersebut bukan tanpa akibat, penurunan catch per unit effort (CPUE) serta terjadinya konflik nelayan trawl dengan nelayan tradisional mulai nampak. Kondisi itulah yang mendorong pemerintah mengeluarkan larangan penggunaan alat tangkap trawl melalui Keppres. No. 39 tahun 1980.
Revolusi alat tangkap telah mendorong kegiatan usaha penangkapan ikan sebagai “primadona” saat itu. Meningkatnya kontribusi produksi perikanan tangkap terhadap devisa, PDB nasional, konsumsi ikan nasional, lapangan kerja, investasi dan regulasi hampir mewarnai setiap kegiatan perikanan. Bahkan selama periode 1994 – 2004, PDB perikanan, produksi, tenaga kerja, struktur sarana dan prasana serta pendapatan negara bukan pajak masih didominasi sub sektor perikanan tangkap. Sehingga pada tahun 2000, keberadaan sub sektor perikanan tangkap mulai mendapat perhatian serius dari stakeholders perikanan. Hal itu ditandai dengan upaya pengendalian perikanan tangkap seiring menurunnya jumlah hasil tangkapan akibat over fishing pada beberapa wilayah penangkapan.
Sebenarnya menurut Satria (2002), keberadaan nelayan digolongkan menjadi 4 tingkatan dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar dan karaktristik pasar. Keempat kelompok tersebut, antara lain nelayan tradisional (peasant-fisher) yang beroreintasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri; post peasant-fisher atau nelayan yang menggunakan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju, seperti motor tempel atau kapal motor; commercial fisher atau nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan; dan industrial fisher yang memiliki beberapa ciri, seperti terorganisasi, pada modal, pendapatan lebih tinggi dan berorientasi ekspor. Hingga tahun 2003, jumlah nelayan mencapai 3.476.200 jiwa - 802.440 jiwa diantaranya merupakan nelayan perairan umum -. Pada umumnya kondisi mereka berada pada garis kemiskinan dengan 95 persen diantaranya didominasi nelayan dengan sarana perahu tanpa motor di bawah 10 gross tonage (GT).
Dari sisi lain, terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan lebih disebabkan karena faktor struktural dan kultural. Faktor kultural dicirikan dengan keterbatasan modal dan teknologi, budaya malas, gaya hidup foya-foya, manajemen buruk, dan terbatasnya sumberdaya alam. Sedangkan secara struktural, kemiskinan lebih disebabkan pengaruh eksternal, seperti tergusur dalam proses pembangunan sebagaimana yang dialami masyarakat nelayan Kali Adem, keterbatasan akses terhadap modal, implementasi kebijakan pemerintah yang bersifat top down dan kebijakan yang tidak berorientasi pada prinsip pemberdayaan dan partisipasi nelayan setempat, rendahnya posisi tawar dalam proses pemasaran, keterbatasn sarana dan prasana pendukung, dan rendahnya penanganan hasil tangkapan. Artinya, tidak berarti nelayan tidak mau maju, tetapi nelayan tidak memiliki kesempatan untuk maju. Begitu pula sebalinya, tidak berarti pemerintah tidak memiliki perhatian dalam membangun kesejahteraan nelayan, tetapi hambatan budaya sangatlah mengikat nelayan untuk meningkatkan dirinya untuk maju. Kedua faktor tersebutlah yang selama ini mendorong terciptanya proses “pengawetan” kemiskinan pada masyarakat nelayan, dan keberadaan masyarakat nelayan selalu terabaikan dalam proses pembangunan nasional, meskipun keberadaan sub sektor ini telah menjadi “primadona” dalam pembangunan perikanan nasional.

Alternatif Solusi
Beberapa langkah penting yang perlu dilakukan dalam pembangunan masyakat nelayan, diantaranya melalui beberapa kebijakan distribusi jumlah nelayan secara merata dari daerah over fishing ke daerah under fishing, perubahan kultur tradisional ke industri, penguatan sarana dan prasarana nelayan, pemberdayaan potensi nelayan serta peningkatan keterampilan. Langkah-langkah itu perlu dilakukan guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya nelayan. Untuk mewujudkan itu perlu dukungan pemimpin nasional dalam bentuk platform pembangunan nasional kelautan dan perikanan serta dukungan dari semua sektor terkait. Sejatinya, pembangunan masyarakat nelayan haruslah mengintergrasikan kedua faktor penyebab kemiskinan tersebut.
Sebagai institusi yang menaungi masalah kelautan dan perikanan, termasuk nelayan, maka Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah memainkan peran aktif dalam mewujudkan masyarakat nelayan yang makmur, sejahtera dan berkeadilan. Lahirnya beberapa kebijakan DKP, seperti pembangunan Solar Packed Dealer Nelayan/Stasiun Pompa Bahan Bakar Nelayan (SPDN/SPBN), Program Pembedayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Optimalisasi Penangkapan Ikan (OPTIKAN), penataan sistem perizinan dan beberapa program lainnya, diyakini mampu meningkatkan kesejahteraan lebih baik bagi masyarakat nelayan. Oleh karenanya, pelaksanaan program tersebut menjadi bentuk tanggungjawab DKP sekaligus terobosan bagi sebuah institusi yang terbilang baru dengan “segudang” masalah.
Haruslah diakui, peningkatan kapasitas kelembagaan kelautan dan perikanan telah memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat, utamanya beberapa daerah nelayan yang tersentuh program DKP. Sebagai contoh, penguatan lembaga koperasi perikanan dibasis nelayan, diyakini dapat menjadi pusat kegiatan peningkatan kesejahterahan keluarga nelayan. Namun, bila dikaji kembali, sebenarnya “roh” dari beberapa kebijakan tersebut belumlah tuntas dilaksanakan. Akibatnya, belum semua tujuan dari beberapa kebijakan itu terwujud. Kondisi ini terjadi, tidak lain akibat belum adanya kesadaran dan partisipasi aktif semua sektor dan pihak-pihak terkait lainnya untuk bersama-sama melaksanakan kebijakan pembangunan perikanan yang telah dinakohdai DKP.
Harusnya berbagai ragam masalah yang muncul seperti uraian di atas, sepatutnya diupayakan untuk dituntaskan melalui beberapa langkah kebijakan yang terintegrasi dan berkesinambungan serta didukung seluruh sektor dan pihak-pihak yang terkait. Pertama, Kebijakan relokasi nelayan harus ditindaklanjuti dengan upaya pengurangan jumlah nelayan melalui program diversifikasi usaha perikanan. Bila tidak, kehadiran program relokasi hanya sebatas pemindahkan kemiskinan tanpa memberikan solusi bagi pelaku yang kehilangan pekerjaannya. Pengurangan nelayan itu didasarkan pada logika bahwa saat ini potensi lestari perikanan di laut sekitar 6,2 juta ton/tahun dan jumlah nelayan sebanyak 2.673.760 jiwa, maka setiap nelayan hanya mampu menangkap ikan 2,32 ton/tahun. Dan, bila diasumsikan harga ikan Rp 5000/kg, maka pendapatan kotor nelayan Rp 11, 6 juta/tahun. Pendapatan tersebut belum dikurangi bagian pemilik kapal, kebutuhan operasional melaut dan perbaikan sarana lainnya. Kedua, Kecepatan dan akurasi data statistik perikanan. Minimnya publikasi data statistik perikanan, diantaranya telah menyebabkan lambannya proses pengambilan kebijakan strategis. Sementara hingga saat ini belum ada standar baku metode perhitungan data yang digunakan, khususnya pada sumberdaya yang bersifat multi spesies. Kondisi ini telah mempengaruhi data yang dihasilkan serta berpengaruh terhadap kebijakan yang dilaksanakan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan. Ketiga, Revitalisasi kelembagaan nelayan. Eksistensi lembaga seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) sebagai organisasi tunggal nelayan haruslah dikaji kembali. Apalagi saat ini muncul berbagai lembaga yang mengatasnamakan nelayan. Namun sayangnya, keberadaan nelayan dalam lembaga-lembaga itu hanya sebagai obyek. Untuk itu, perlu didorong suatu perubahan dimana nelayan mampu menjadi penentu dalam lembaga tersebut, sehingga arah kebijakan yang diambil merupakan wujud peran aktif nelayan dalam proses pembangunan. Keempat, Revitalisasi sarana dan prasarana, mutu hasil tangkapan dan penyederhanaan jalur tata niaga perikanan. Ketersediannya sarana dan prasarana yang memadai, diyakini mampu meningkatkan aktivitas penangkapan ikan terutama di wilayah perairan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sedangkan pembinaan mutu hasil tangkapan dan penyederhanaan jalur tata niaga hasil perikanan, diyakini mampu mendorong peningkatan pendapatan produsen (nelayan). Kelima, Perubahan perilaku masyarakat nelayan. Perubahan perilaku nelayan dilakukan melalui pembinaan secara komprehensif dengan melibatkan peran tokoh masyarakat setempat. Perubahan perilaku ini diharapkan dapat mengubah pola-pola tradisional yang cenderung konsumtif menjadi terencana dan teratur. Keenam, Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Penguasaan iptek perlu ditanamkan ke dalam budaya nelayan yang bersifat tradisional dan temurun. Langkah ini tentunya harus dilakukan sesuai dengan kapasitas pendidikan dan pengalaman nelayan setempat. Metode dan cara penyampaian teknologi harus diimbangi dengan introduksi teknologi yang sedang berkembang serta mendukung kegiatan penangkapan ikan. Ketujuh, Penguatan kelembagaan pendukung. Lembaga-lembaga yang berperan dalam peningkatan taraf ekonomi nelayan perlu ditingkatkan kapasitasnya, sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan nelayan, terutama dalam hal menopang kegiatan penangkapan ikan dan pengolahan hasil perikanan.
Berpijak pada beberapa langkah diatas, sepantasnya kita menaruh harapan besar pada kedua capres yang akan maju pada putaran kedua untuk memiliki flatform terhadap pembangunan kelautan dan perikanan nasional. Keberpihakan dan flatform pembangunan kelautan dan perikanan para Capres tersebut, diyakini mampu menggerakan seluruh sektor terkait dalam mendukung percepatan pembangunan sektor ini. Hanyalah sebuah keniscayaan, harkat dan martabat masyarakat nelayan dapat ditingkatkan tanpa keberpihakan kebijakan pemimpin nasionalnya. Untuk itu, keberadaan nelayan sudah seharusnya menjadi pelaku utama pembangunan nasional, bukan obyek pembangunan sebagaimana yang selama ini berlangsung. Kedepan, sewajarnya keberhasilan dari suatu pelaksanaan pembangunan perikanan, tidak semata dinilai dan dipatok pada pencapaian perolehan devisa ataupun pertumbuhan ekonomi nasional. Namun yang lebih utama adalah keberhasilan dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Semoga!!!

Ayo, Lebaran Bersama Ikan

Lebaran kembali tiba. Kebutuhan bahan pokok pun mulai beranjak naik, disamping kasus penyakit antraks yang membayangi masyarakat untuk mengkonsumsi daging. Lalu, kenapa dihari besar ini masyarakat Indonesia tidak mau beralih mengkonsumsi ikan? Padahal, Indonesia memiliki potensi ikan berlimpah, beragam jenis dan harganya pun dapat dijangkau masyarakat.


Indonesia merupakan negara yang dua per tiga wilayahnya terdiri atas perairan, dan memiliki sekitar 17.506 pulau dengan luas laut 5,8 juta km2. Lebih dari itu, Indonesia juga memiliki garis pantai sepanjang 81.000 Km (kedua terbesar didunia setelah Kanada). Bahkan, berdasarkan hasil kajian, sektor perikanan diperkirakan memiliki nilai ekonomis sekitar US$ 78.061 milyar yang dapat dihasilkan dari kegiatan usaha perikanan tangkap di laut, perikanan tangkap di perairan umum, perikanan budidaya laut (mariculture), perikanan budidaya tambak dan perikanan budidaya air tawar.
Namun sayang, keunggulan alam yang dimiliki belumlah diikuti oleh budaya masyarakatnya yang labih dari 200 juta jiwa dalam mengkonsumsi ikan. Fakta ini tercermin dari masih rendahnya tingkat konsumsi ikan nasional, 24,67 kg/kapita/tahun (DKP, 2004), atau cenderung lebih kecil dibandingkan tingkat konsumsi ikan pada beberapa negara maju lainnya, seperti Jepang (110 kg/kapita/tahun), Korea Selatan (85 kg/kapita/tahun), Malaysia (45 kg/kapita/tahun) dan Thailand (35 kg/kapita/tahun).
Fenomena di atas sepantasnyalah menjadi renungan bersama, khususnya para pengambil kebijakan, bahwasa budaya masyarakat mengkonsumsi ikan belum sepenuhnya tumbuh. Padahal, program gerakan Makan Ikan secara nasional telah dicanangkan pemerintah medio tahun 1996, era Presiden Soeharto, bahkan pada medio 2002 pun Presiden Megawati Soekarnoputri melakukan hal yang sama. Dan mudah-mudahan, Presiden SBY pun dapat melakukan hal sama seiring momentum pelaksanaan lebaran kali ini.


Harus Dicoba
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2003), rendahnya konsumsi masyarakat terhadap ikan karena beberapa hal, antara lain (1) masih rendahnya minat masyarakat untuk makan ikan yang disebabkan hambatan sosial-budaya; (2) ketersediaan ikan yang tidak merata dan kontinu di setiap wilayah; (3) mutu produk yang tersedia masih sangat rendah; (4) terbatasnya diversifikasi produk olahan; dan (5) sarana dan distribusi pemasaran sangat terbatas atau sangat minim baik kualitas, dan kuantitasnya. Karenanya, diperlukan strategi operasional untuk mendukung program dimaksud, seperti gagasan merubah kebiasaan menu berlebaran dengan daging menjadi ikan.
Untuk mewujudkannya perlu disiapkan beberapa instrumen yang dapat mengatasi beberapa hambatan di atas, seperti dukungan kebijakan pemerintah, sosialisasi dan publikasi konsumsi ikan dengan melibatkan tokoh masyarakat, pembangunan pasar ikan secara higienis, pengembangan usaha perikanan berbasiskan potensi daerah guna mencukupi kebutuhan daerah bersangkutan, pelatihan dan penyuluhan diversifikasi produk serta mutu hasil perikanan, dan penyediaan sarana trasportasi yang disesuaikan dengan karakteristik ikan sebagai sumberdaya yang bersifat high risk karena mudah busuk.

Pentingnya Dukungan Lintas Sektor
Rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi ikan sebagai menu utama dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari beberapa kendala di atas, sehingga pemahaman nilai konsumsi ikan hanya dipandang semata kepentingan individual. Padahal, ada kepentingan lain yang jauh lebih besar dari itu, yakni upaya menyehatkan dan mencerdaskan masyarakat Indonesia dari “rakusnya” mengkonsumsi ikan. Dalam arti kata, dicanangkannya gerakan makan ikan tidak terbatas pada tugas Departemen Kelautan dan Perikanan (sebelumnya Direktorat Jenderal Perikanan, Deptan), namun menjadi tanggung jawab bersama dari seluruh sektor yang terkait. Apabila diinventarisasi, setidaknya terdapat beberapa sektor yang kiranya sangat terkait dengan pelaksanaan gerakan makan ikan, seperti Menko Kesra, Menko Perekonomian, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Sosial, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja dan Trasmigrasi, Departemen Dalam Negeri serta Pemerintah Daerah, baik propinsi maupun kabupaten. Kesemuanya memiliki tanggung jawab yang sama terhadap keberlangsungan dari pelaksanaan gerakan makan ikan, karena meningkatnya konsumsi ikan nasional, berarti kecerdasan masyarakat meningkat, kesehatan masyarakat lebih terjamin, sumberdaya perikanan dapat dioptimalkan pemanfaatannya dan penyerapan kebutuhan ikan di tengah-tengah masyarakat meningkat, disamping tenaga kerja yang mengelolanya secara tidak langsung akan mengalami peningkatan.
Dukungan sektor lain terhadap gerakan makan ikan dapat disesuaikan dengan tugas pokoknya, seperti Departemen Tenaga Kerja dan Trasmigrasi menyeruhkan kepada kalangan perusahaan untuk dapat menyediakan menu ikan minimal 2 kali dalam seminggu, arahan Departemen Pendidikan Nasional kepada para pelajar untuk mengkonsumsi ikan, Departemen Kesehatan mensosialisasikan pentingnya makan ikan bagi generasi muda dan ibu hamil, serta Menko Ekuin dan Menko Kesra menyeruhkan kepada masyarakat, bahwasannya keterbatasan daging dalam negeri pada peringatan hari-hari besar dapat dieliminasi dengan pengadaan stock ikan nasional. Untuk menuju hal di atas, sepantasnyalah apabila sekarang ini produk ikan ditetapkan pemerintah sebagai menu nasional.

Tinjauan Dimensi Sosial-Ekonomi
Gerakan mengkonsumsi ikan di masyarakat, pada dasarnya dapat ditinjau dari dua dimensi, yakni dimensi sosial dan dimensi ekonomi, yang mana keduanya saling menguatkan satu sama lain. Dilihat dari sudut sosial, meningkatnya konsumsi ikan nasional berarti dapat menjadi salah satu indikator, bahwasannya kesadaran masyarakat akan manfaat mengkonsumsi ikan telah terbangun, dan upaya meminimalkan “jurang pemisah” antara masyarakat “kelas” atas dan bawah terwujud. Kenapa? Ikan dapat dikonsumsi dari berbagai lapisan, masyarakat dapat menikmatinya dalam berbagai jenis, ukuran dan aneka rasa. Sejatinya, gerakan makan ikan mampu mendorong masyarakat untuk lebih menghargai para pelakunya yang bergerak di sektor perikanan.
Penyediaan produk perikanan dalam jumlah besar masih sangatlah terbuka, sehingga sangatlah tepat apabila pemerintah menempatkan perikanan sebagai prime mover pembangunan nasional. Kenapa? Hal ini dilandasi pada beberapa argumen, yakni 2/3 wilayahnya meliputi perairan, sebagian besar masyarakat tinggal di wilayah pesisir, biodiversity perikanan tinggi, dan introduksi teknologi perikanan terus mengalami peningkatan. Artinya, misi para pendiri bangsa, pendayagunaan potensi sumberdaya alam (laut) untuk kemakmuran rakyat tertanam dalam sektor ini. Pendayagunaan sumberdaya laut (ikan), meminimalisasi ketergantungan bangsa ini dari produk luar, juga kekhawatiran berkurangnya penyerapan produk perikanan nasional karena adanya UU Bioterorisme, isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 1400), isu property right, isu responsible fisheries, isu precouteonary approach, isu Hak Azasi Manusia dan isu ketenagakerjaan dapat dihadapi karena tingginya penyerapan akan kebutuhan ikan dalam negeri, disamping kecerdasan, kekuatan dan kesehatan anak bangsa meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi ikan di masyarakat. Akankah impian ini terwujud? Semuanya kembali pada diri kita, seberapa tahukah? pentingkah? mampukah? masyarakat akan manfaat yang diperoleh dari mengkonsumsi ikan. Artinya, gerakan makan ikan haruslah menjadi gerakan yang “membumi”, bukan sebatas paksaan, namun sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi masyarakat…Semoga!!!


Bangkitnya Industri Tuna Nasional

Indonesia merupakan pemilik sumber daya tuna, pemanfaat tuna dan pengelola tuna. Namun, pengelolaannya memiliki beberapa hambatan sehingga produktivitas industri tuna nasional lebih rendah bila dibandingkan dengan negara lainnya yang tidak memiliki sumberdaya, seperti Taiwan, Jepang dan Thailand.

Angin segar pun kembali diterima para pengusaha eksportir tuna Indonesia. Penyebabnya, Uni Eropa (UE) telah mencabut kebijakan larangan impor sementara tuna asal Indonesia. Hal ini karena pihak Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah berhasil membuktikan tidak semua tuna asal Indonesia berkadar histamin tinggi.
Indonesia dalam meningkatkan mutu perikanan, termasuk perikanan tuna telah melaksanakan sistem rantai dingin (cold chain system-CCS) sebagai solusi untuk mencegah terurainya kadar histamin di kulit tuna yang dilakukan para importir tuna, namun pelaksanaannya masih jauh dari sempurna. Dalam upaya mendukungnya, DKP memberikan pinjaman lunak bagi nelayan tradisional untuk dapat membeli kotak pendingin ikan (cool box) sebagai sarana untuk peningkatan mutu hasil tangkapan. Selain itu, juga dilakukan pendirian beberapa tempat pendaratan ikan yang telah memenuhi syarat kehigienisan.

Industri Tuna Nasional
Hingga Juni 2005, Indonesia masih memiliki kuota ekspor tuna kaleng dengan tujuan UE mencapai lebih dari 2.500 ton. UE menetapkan tarif bea masuk impor tuna kaleng sebesar 14%, potensi pasar tuna di UE dari tahun ke tahun semakin membesar, dan saat ini kapitalisasi pasarnya mencapai sekitar US$ 200 juta. Dari total kuota impor tuna beku UE sebanyak 25.000 ton, impor tuna beku Indonesia baru mencapai 2.750 ton atau berkisar 11%, jauh bila dibandingkan total produksi dari Thailand yang sebesar 13.000 ton atau mendominasi hampir 52% dari total impor tuna beku yang dibutuhkan negara UE.
Namun, produk tuna Indoanesia boleh agak berbesar hati seiring dengan keinginan investor dari Singapura dan Australia yang berminat menginvestasikan uangnya dalam bidang industri penangkapan tuna di Perairan Sumatera Barat. Bahkan, keduanya telah menyatakan minatnya untuk menanamkan investasi dan telah melihat secara langsung potensi perikanan di Sumatera Barat serta akan segera merealisasikannya dalam waktu dekat ini.
Untuk itu, seyogyanya pola pembangunan industri perikanan dimasa yang akan datang terutama ikan tuna harus lebih berorientasi pada ketersediaan sumber daya. Disamping itu juga diperlukan kesamaan visi dan misi dari seluruh stakeholders industri perikanan dalam upaya mewujudkan cita-cita pembangunan perikanan nasional melalui peningkatan produktivitas, kontribusi devisa serta kesejahteraan masyarakat pesisir sebagai pelaku usaha langsung. Kesamaan pemanfaatan sumber daya perikanan secara berkelanjutan inilah yang diyakini dapat menciptakan industri tuna yang tangguh serta mampu bersaing di dunia internasional atau pasar global.

Komisi Tuna Nasional
Dalam rangka meningkatkan produktivitas industri tuna nasional serta mengatasi beragam masalah, tuntutan terhadap suatu badan maupun organisasi yang menangani masalah tuna sangatlah diperlukan. Karenanya, pemerintah membentuk Komisi Tuna Indonesia (KTN) yang salah satunya bertugas untuk mengatasi berbagai hambatan ekspor tuna ke manca negara. Komisi Tuna Nasional merupakan suatu lembaga koordinasi yang menangani permasalahan industri tuna secara komprehensif dan sistematik serta mampu berkoordinasi dengan seluruh stakeholders tuna nasional. Lembaga ini bersifat non structural dan bertanggung jawab kepada Menteri Kelautan dan Perikanan serta beranggotakan seluruh stakeholders yang memahami kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan tuna secara global.
Lembaga ini mempunyai visi sebagai institusi yang efisisen dan efektif dalam mendorong pengembangan industri tuna nasional yang berbasis pada konsep kemitraan antara seluruh stakeholders industri tuna sehingga dapat bersaing dalam industri tuna secara global. Sedangkan misinya adalah mengembangkan sistim industri perikanan tuna melalui perumusan kebijakan produksi dan kebijakan riset serta pengembangan yang terkait dengan industri tuna, meningkatkan daya saing industri tuna nasional dalam kontek tidak hanya sebagai pemiliki saja, tetapi juga mampu menjadi pemanfaat dan pengolah yang memiliki daya saing secara global.
Disamping itu, para stakeholders juga berharap agar KTN dapat melobi untuk mengantisipasi terjadinya masalah, terutama hambatan dalam perdagangan internasional serta membantu kelancaran untuk ekspor tuna dari Indonesia.

Kota Tuna

Sebagai wujud nyata dari pembentukan KTN, kawasan Perairan Bitung Tengah, Sulawesi Utara yang dikenal dengan hasil tunanya diarahkan untuk dapat ditetapkan sebagai Kota Tuna Indonesia. Dengan kapasitas 1.000 ton per hari, kota ini diyakini dapat menyaingi Kota General Santos di Filipina yang baru mencapai 800 ton per hari, apalagi bila didukung dengan sarana pendaratan, pengolahan dan fasilitas transportasi sehingga para nelayan dan eksportir memiliki kemudahan dalam memasarkan tuna dengan harga yang baik.
Potensi ikan tuna yang ada di sekitar perairan kota Bitung cukup besar, namun saat ini para nelayan justru lebih banyak menjual hasil tangkapannya ke General Santos yang terletak di Pulau Miandano, Filipina Selatan. Kecenderungan menjual tuna ke Filipina karena sarana dan prasarana pelabuhan di General Santos cukup lengkap dan harga jualnya lebih baik. Ironisnya, sekitar 75 persen pasokan ikan tuna ke General santos justru berasal dari Perairan Bitung.
Potensi tuna, baik segar maupun olahan masih sangat terbuka untuk diekspor ke negara As, Jepang, Jerman dan Prancis, apalagi potensi pasar keempat negara tersebut belum dapat dipenuhi karena kendala sarana pelabuhan dan transportasi yang sangat terbatas. Untuk itu, pemerintah saat ini telah mengalokasikan dana sekitar Rp.300-350 miliar guna pembangunan sejumlah sarana, mulai dari pelabuhan pendaratan, fasilitas pengolahan, pendukung pelabuhan container hingga pelabuhan udara. Kedepan, Bitung tidak hanya mengekspor tuna olahan tetapi juga meningkatkan ekspor tuna segar dengan prediksi devisa yang dapat dihasilkan dari kota tuna ini dapat mencapai Rp 8-9 triliun per tahunnya. Tentunya akan tercapai, bila rata-rata kapasitas per hari 1.000 ton atau 300.000 ton per tahun dengan harga rata-rata tuna segar US$ 3 – US$ 4 per kg. Semoga!